Sabtu, 16 Mei 2015

Alat Berat Hingga Material Konstruksi Proyek Infrastruktur Masih Impor

- China mensyaratkan kandungan lokal hanya 30% dalam setiap proyek yang dibiayai oleh mereka. Itu artinya penyediaan barang dan jasa didominasi berasal dari negara mereka. Lalu Indonesia ?!



Industri di sektor infrastruktur bakal menggeliat seiring dengan komitmen Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang fokus pada pembangunan infrastruktur. Kondisi ini, belum bisa sepenuhnya dinikmati oleh pelaku industri di dalam negeri, karena banyak komponen dan alat konstruksi yang masih impor.

Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengatakan, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) berbagai proyek infrastruktur di tanah air masih sangat minim. Sebagian masih banyak harus diimpor seperti alat berat hingga material konstruksi.

"Penggunaan alat berat, konstruksi dan material handling hanya 35%. Penggunaan bahan bangunan dan konstruksi pun tidak sampai 50% hanya 49,27%," kata Saleh Husin dalam diskusi TKDN Dalam Proyek Infrastruktur di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (12/5/2015).

Diskusi yang diselenggarakan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) tersebut juga menghadirkan pembicara lainnya yaitu Anggota DPR-RI Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, dan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perbankan dan Finansial Rosan P Roeslani.

Roslan menjelaskan, ada permasalahan mendasar yang menyebabkan kandungan lokal dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia sangat minim.

Masalah yang dimaksud adalah pinjaman luar neggeri yang bersifat bilateral. Artinya pinjaman luar negeri yang disertai dengan persyaratan tertentu seperti wajib memakai komponen impor dari negara asal pemberi pinjaman.

"Kita lakukan pinjaman dengan sifat pinjaman bilateral maka ada persyaratannya yang harus dipenuhi adalah kita ikut aturan mereka. Misalnya kalau kita pinjam ke Rusia, kita harus ambil 100% barang dan jasanya dari Rusia. China mensyaratkan local content-nya hanya 30% artinya penyediaan barang dan jasa didominasi berasal dari negara mereka," katanya.

Celakanya, pinjaman bilateral tersebut sulit dihindari karena negara membutuhkan pinjaman dalam jumlah besar yang bila sifatnya non bilateral maka bunganya cukup tinggi dan memberatkan keuangan negara.

Namun, masalah itu bukan tanpa jalan keluar. Ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan agar kebutuhan dana investasi yang besar bisa terpenuhi namun kedaulatan negara bisa tetap terjaga.

"Caranya adalah dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN). Kelebihannya, kita lebih kedaulatan kita lebih terjaga ketimbang melakukan pinjaman secara bilateral," katanya.

Tentu bisa juga dengan mengandalkan sumber pendanaan lain seperti dana BPJS maupun dana yang selama ini tidak termanfaatkan dengan maksimal.

"Kalau kita bisa mengoptimalkan pendanaan dari dalam negeri maka kita bisa leluasa menetapkan komposisi kandungan lokal. Maka permasalahan kandungan lokal yang minim nggak jadi masalah lagi," katanya.


Sumber : detik.com

0 komentar: