Kamis, 09 Juli 2015

Ekonomi Indonesia Tidak Resesi ?

Redefinisi arti resesi

-- Pemerintah senang menjual mimpi, padahal kita sudah masuk resesi.

Seluruh indikator ekonomi, menunjukkan ekonomi Indonesia sedang muram. Lihat saja, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2015  terendah sejak tahun 2009, rupiah semakin loyo, omzet perusahaan - perusahaan di Bursa Efek Indonesia menyusut, akibatnya IHSG terkapar.

Tapi, di tengah muramnya indikator ekonomi, pemerintah dan ekonom-ekonom pro-pemerintah dengan santainya mengatakan bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak resesi. Alasan mereka didasarkan pada definisi resesi adalah, bila suatu negara pertumbuhan ekonominya selama dua kuartal di bawah 0%, alias minus. Pertanyaannya adalah, apakah definisi resesi jadul seperti itu masih relevan dengan jaman modern seperti ini?

Sebelum menjawab, kita harus mengetahui bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu sosial. Artinya, ilmu ekonomi harus disesuaikan dengan perkembangan jaman. Ilmu ekonomi 100 atau 50 tahun lalu tentu tidak dapat dijadikan acuan untuk mengambarkan keadaan ekonomi sekarang.

Bayangkan bila John Maynard Keynes tidak merevolusi pemikiran ekonom–ekonom klasik seperti, Adam Smith. Dunia tidak akan dapat melepaskan diri dari depresi besar tahun 1928. Dalam karyanya berjudul “The General Theori of Employment, Interest and Money“, Keynes mendorong pemerintah untuk ikut campur bila suatu negara sedang menghadapi masalah ekonomi, sedangkan para ekonom klasik menyerahkan semua permasalahan ekonomi kepada mekanisme pasar.

Kalau teori ekonomi saja bisa direvolusi, apalagi cuma definisi resesi. Banyak pakar ekonomi modern seperti Joseph Stiglitz, telah meninggalkan definisi resesi jaman jadul tersebut. Barometer resesi sekarang tidak hanya didasarkan kepada pertumbuhan saja, tapi sudah lebih luas.

Pertumbuhan pun tak lepas dari kritik para ekonom modern. Karena bila pertumbuhan hanya mengutungkan segelintir orang, jelas tidak sejalan dengan tujuan ilmu ekonomi. Lihat saja 70% ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh 0,1% penduduk. Pertumbuhan juga semakin tidak berkualitas. Tahun 2009, setiap 1% pertumbuhan dapat menyerap 300-400 ribu tenaga kerja. Sekarang 1% pertumbuhan hanya menyerap 200 ribu-250 ribu tenaga kerja.

Untuk mendefinisikan resesi, ekonom sekarang lebih mengutamakan indikator tingkat penyerapan tenaga kerja, persepsi masyarakat dan omzet perusahaan, dibandingkan dengan pertumbuhan.

Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, angka pengangguran Indonesia bulan Februari 2015 mengalami peningkatan sebanyak 310 ribu jiwa dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Persepsi masyarakat tentang kondisi ekonomi juga menurun. Lihat saja, di bulan Juni 2015, persepsi konsumen menurut Bank Indonesia, hanya sebesar 100,3 (kalau sampai di bawah 100, berarti ada masalah berat dalam ekonomi kita), padahal bulan sebelumnya masih berada di 102,6.

Akibat dari naiknya angka pengangguran dan turunnya persepsi konsumen, omzet perusahaan-perusahaan ikut tergerus. Bayangkan, emiten dengan bidang usaha konsumsi masyarakat seperti Indofood Sukses Makmur,Tbk (INDF) saja, berdasarkan laporan keuangan kuartal I 2015, omzetnya mengalami penurunan. Artinya, untuk makan saja masyarakat sudah menurunkan konsumsinya.

Bila kita mendefinisikan resesi berdasarkan naiknya angka pengangguran, turunnya persepsi konsumen dan turunnya omzet perusahaan, tak diragukan lagi ekonomi Indonesia sedang mengalami resesi.

Celakanya, pemerintah senang menjual mimpi, mereka memprediksi bahwa dalam beberapa tahun ke depan ekonomi Indonesia akan gemilang, akibat pembangunan infrastruktur besar-besaran. Padahal, prediksi ekonomi APBNP-2015 saja tidak mungkin direalisasikan.

Pemerintah tampaknya harus menyimak kalimat dari Keynes “In The Long Run We Are All Dead“. Artinya, jangan coba-coba memprediksi jangka panjang, bila memprediksi jangka pendek saja kedodoran.

Indonesianreview.com

0 komentar: