Jumat, 04 September 2015

Jangan Mabuk Pujian


Krisis sudah di depan mata

Jangan terlalu mabuk dengan segala pujian. Kita harus ingat sebelum terjadi krisis 1998, banyak pujian dilontarkan lembaga donor.

Belakangan ini, semakin banyak suara yang dikumandangkan bahwa Indonesia masih jauh dari krisis ekonomi. Mulai dari Presiden, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan sebagian pengamat ekonomi seperti koor menyatakan bahwa kondisi ekonomi nasional sekarang jauh berbeda dibandingkan tahun 1998 saat krisis mengguncang.

Adalah baik meyakinkan sekaligus menenangkan masyarakat agar tidak panik dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian yang sedang berlangsung saat ini. Ini adalah memang tugas pemerintah di mana-mana.

Memang, tak ada yang salah dengan apa yang disampaikan pemerintah dan sebagian pengamat ekonomi itu. Pada 1998, satu dolar AS dihargai Rp 15.000, bahkan pernah mencapai Rp 17.000 selama dua hari pada bulan Januari. Saat ini, kurs rupiah sekitar Rp 14.000 per dolar AS.  Memang, sudah mendekati level tahun 1998.

Tapi, fundamental ekonomi nasional masih cukup baik.  Inflasi, pertumbuhan ekonomi, hingga neraca perdagangan masih lebih baik ketimbang tahun 1998.

Akan halnya tingkat inflasi, pada 17 tahun lalu, hingga Agustus sudah mencapai 54,5%. Sekarang, hingga Agustus 2015 tingkat inflasi “baru” mencapai kisaran 7%.

Lantas pertumbuhan ekonomi, di tahun 1998 Indonesia mengalami minus 14%. Sebaliknya, sekarang ekonomi masih tumbuh positif 4,7% pada semester I-2015.

Kemudian dari sisi neraca perdagangan, Indonesia masih memiliki surplus US$ 1,33 miliar pada Juli 2015, dua kali lipat dibandingkan Juni yang hanya menorehkan surplus US$ 530 juta.

Sektor perbankan, yang paling rawan dalam menghadapi gejolak ini, juga dalam keadaan baik-baik saja. Masih sehat dengan kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) di kisaran 2,6% dan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 20%.

Angka itu cukup aman jika melihat batasan NPL yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) yang berada di bawah 3% untuk NPL dan minimal 8% untuk CAR.

Pada 1998, semua bank praktis insolvent dan bangkrut. Hampir semua bank membukukan kerugian besar yang memakan modal hingga modalnya negatif. Hal ini disebabkan oleh kombinasi antara tingginya NPL dan negative spread.

Cadangan devisa yang dikempit BI pun masih aman. Taruhlah, BI melakukan intervensi pasar  demi menstabilkan nilai tukar rupiah di hari-hari  ini, tapi sisa cadangan devisanya masih besar, masih di atas US$ 100 miliar.

Hanya saja, pemerintah melupakan munculnya ancaman PHK akibat penguatan dolar AS. Pelemahan rupiah, yang menyebabkan daya beli turun dan biaya produksi naik, telah menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja yang dahsyat. Puluhan ribu karyawan  kini telah kehilangan pekerjaaannya.

Sudah terkena PHK, masyarakat juga dihadapkan pada tingginga harga kebutuhan pokok. Seperti beras, cabai, daging, tempe-tahu, semua harga naik tanpa bisa dicegah. Ada memang operasi pasar yang dilakukan Bulog, tapi itu tak banyak menolong. Buktinya,  harga-harga kebutuhan pokok kini masih tetap tinggi.

Karena itu, tak salah memang menenangkan masyarakat, tapi semua itu harus dibarengi dengan bekerja lebih keras lagi dan segera merealisasikan anggaran belanja yang saat ini masih kecil.

Kita jangan terlalu mabuk dengan segala pujian,  seperti fundamental ekonomi nasional kuat dan pertumbuhan yang—walaupun di bawah target—masih bagus. Kita harus ingat ketika terjadi krisis 1998.

Ketika itu, sebelum bencana terjadi, Indonesia dianggap salah satu negara ajaib dengan pertumbuhan yang begitu tinggi. Berbagai lembaga donor pun melontarkan berbagai pujian untuk negeri ini. Tapi apa yang terjadi? Seketika, perekonomian negeri ini terjerembab dalam kubangan krisis.

Jadi, jangan mabuk dengan segala pujian.

Indonesianreview.com

0 komentar: