Kamis, 03 September 2015

Liberalisasi Atau Mati


Ekonomi Indonesia

Akhirnya Jokowi memutuskan untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Maka, mulai pekan depan, serangkaian paket deregulasi akan mulai digulirkan. Untuk memperlancar arus modal masuk dan memperkuat rupiah, katanya.

Bila Rizal Ramli masih di luar pemerintah, dia mungkin akan berteriak keras menentang kebijakan tersebut. Sebagaimana kerap dia ungkapkan di masa lalu, liberalisasi ekonomi adalah bagian dari skenario kapitalis global untuk mengangkangi perekonomian negara sedang berkembang seperti Indonesia.

Namun pemerintah tampaknya tak punya pilihan di tengah kemelut ekonomi global dan dalam negeri yang telah menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan. Ada dua alasan pemerintah mengapa liberalisasi ekonomi tak terhindarkan. Pertama, menderasnya modal asing bisa menciptakan pekerjaan, sekaligus mempertahankan yang sudah ada. Kedua, bisa memperkuat nilai tukar rupiah.

Sekarang saja keluhan para pedagang produk industri sudah sangat keras karena kenaikan harga barang dagangan mereka. Mereka sudah memperingatkan pemerintah bahwa banyak dari mereka akan gulung tikar dalam beberapa bulan ke depan kalau rupiah terus melemah. Sementara itu para industrialis membuktikannya dengan pengurangan jam kerja, bahkan penutupan pabrik.

Bisa jadi, liberalisasi yang akan dilakukan oleh Jokowi terkait dengan kenyataan bahwa ada korelasi antara kebebasan ekonomi dengan tingkat kesejahteraan sebuah negara.

Kebebasan ekonomi memiliki korelasi dengan kesejahteraan sebuah negara. Hal ini tercermin pada Index of Ecconomic Freedom 2015, yang dibuat oleh The Wallstreet Journal dan The Heritage Foundation. Lebih 90% perekonomian yang masuk dalam kategori Bebas (Free), dan Sangat Bebas (Mostly Free). Sebaliknya, hampir semua yang masuh dalam perekonomian Mostly Unfree dan Repressed adalah negara-negara miskin dan sedang berkembang.

Negara - negara Asia yang perekonomiannya tergolong Free dan Mostly Free adalah Jepang, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Malaysia. Sedangkan yang tergolong Mostly Unfree dan Repressed di antaranya adalah Indonesia, Bhutan, Kamboja, Vietnam, dan Laos. Di negara-negara ini pemerintahnya melaksanakan kebijakan ekonomi proteksionistik dengan alasan untuk menumbuhkan industri dan produksi dalam negeri.   

Di zaman Suharto, Indonesia juga menjalankan kebijakan semacam itu. Hasilnya, sebagaimana terungkap dalam Kajian Kunio Yoshihara, Indonesia terperangkap dalam ekonomi biaya tinggi karena dibebani oleh kepentingan pribadi para industrialis palsu. Yaitu orang-orang dekat penguasa yang menjadi sangat kaya karena  hanya mereka yang diizinkan pemerintah menjadi pemain utama dalam pereknomian nasional.

Bila pemerintah berharap bahwa liberalisasi ekonomi yang akan dilakukan akan memikat banya pemodal, mungkin berlebihan. Maklum, pemerintah maupun swasta, saat ini lebih suka melakukan kebijakan mengencangkan ikat pinggang. Dengan kata lain, mereka memilih bermain aman ketimbang masuk ke wilayah baru yang belum jelas masa depannya. Apalagi Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara yang ‘ganti pemerintah ganti kebijakan’.

Selain itu, liberalisasi juga dilakukan oleh banyak negara. Alasan mereka juga sama dengan Indonesia, yaitu untuk memikat modal asing sebanyak mungkin. Apa boleh buat, sekarang ini tak ada negara yang bebas dari dampak buruk dari kemelut ekonomi global. Bahkan motor utama perekonomian dunia – Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur – masih berkecendrungan kian lesu.

Celakanya, di tengah situasi seperti itu, Indonesia juga mengalami ledakan jumlah penduduk dan pencari kerja. Jumlah penduduk, yang kini telah mencapai 240 juta orang, diperkirakan akan terus bertumbuh 4  juta per tahun. Sementara itu jumlah pencari kerja baru mencapai 3 juta per tahun, yang hanya bisa ditampung bila ekonomi tumbuh di atas 10%.

Kenyataan ini jelas mewajibkan pemerintah mencari jalan yang efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Sebab, cepat atau lambat, kalau kelesuan ekonomi berlangsung, angka kejahatan termasuk terorisme bakal meningkat. Maka, saat ini Indonesia seolah berada pada posisi ‘liberalisasi atau mati’. Ada pilihan lain?

Ekonomi Indonesia
IndonesiaReview.com -- Akhirnya Jokowi memutuskan untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Maka, mulai pekan depan, serangkaian paket deregulasi akan mulai digulirkan. Untuk memperlancar arus modal masuk dan memperkuat rupiah, katanya.
Bila Rizal Ramli masih di luar pemerintah, dia mungkin akan berteriak keras menentang kebijakan tersebut. Sebagaimana kerap dia ungkapkan di masa lalu, liberalisasi ekonomi adalah bagian dari skenario kapitalis global untuk mengangkangi perekonomian negara sedang berkembang seperti Indonesia.
Namun pemerintah tampaknya tak punya pilihan di tengah kemelut ekonomi global dan dalam negeri yang telah menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan. Ada dua alasan pemerintah mengapa liberalisasi ekonomi tak terhindarkan. Pertama, menderasnya modal asing bisa menciptakan pekerjaan, sekaligus mempertahankan yang sudah ada. Kedua, bisa memperkuat nilai tukar rupiah.
Sekarang saja keluhan para pedagang produk industri sudah sangat keras karena kenaikan harga barang dagangan mereka. Mereka sudah memperingatkan pemerintah bahwa banyak dari mereka akan gulung tikar dalam beberapa bulan ke depan kalau rupiah terus melemah. Sementara itu para industrialis membuktikannya dengan pengurangan jam kerja, bahkan penutupan pabrik.
Bisa jadi, liberalisasi yang akan dilakukan oleh Jokowi terkait dengan kenyataan bahwa ada korelasi antara kebebasan ekonomi dengan tingkat kesejahteraan sebuah negara.
Kebebasan ekonomi memiliki korelasi dengan kesejahteraan sebuah negara. Hal ini tercermin pada Index of Ecconomic Freedom 2015, yang dibuat oleh The Wallstreet Journal dan The Heritage Foundation. Lebih 90% perekonomian yang masuk dalam kategori Bebas (Free), dan Sangat Bebas (Mostly Free). Sebaliknya, hampir semua yang masuh dalam perekonomian Mostly Unfree dan Repressed adalah negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Negara - negara Asia yang perekonomiannya tergolong Free dan Mostly Free adalah Jepang, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Malaysia. Sedangkan yang tergolong Mostly Unfree dan Repressed di antaranya adalah Indonesia, Bhutan, Kamboja, Vietnam, dan Laos. Di negara-negara ini pemerintahnya melaksanakan kebijakan ekonomi proteksionistik dengan alasan untuk menumbuhkan industri dan produksi dalam negeri.
Di zaman Suharto, Indonesia juga menjalankan kebijakan semacam itu. Hasilnya, sebagaimana terungkap dalam Kajian Kunio Yoshihara, Indonesia terperangkap dalam ekonomi biaya tinggi karena dibebani oleh kepentingan pribadi para industrialis palsu. Yaitu orang-orang dekat penguasa yang menjadi sangat kaya karena  hanya mereka yang diizinkan pemerintah menjadi pemain utama dalam pereknomian nasional.
Bila pemerintah berharap bahwa liberalisasi ekonomi yang akan dilakukan akan memikat banya pemodal, mungkin berlebihan. Maklum, pemerintah maupun swasta, saat ini lebih suka melakukan kebijakan mengencangkan ikat pinggang. Dengan kata lain, mereka memilih bermain aman ketimbang masuk ke wilayah baru yang belum jelas masa depannya. Apalagi Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara yang ‘ganti pemerintah ganti kebijakan’.
Selain itu, liberalisasi juga dilakukan oleh banyak negara. Alasan mereka juga sama dengan Indonesia, yaitu untuk memikat modal asing sebanyak mungkin. Apa boleh buat, sekarang ini tak ada negara yang bebas dari dampak buruk dari kemelut ekonomi global. Bahkan motor utama perekonomian dunia – Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur – masih berkecendrungan kian lesu.
Celakanya, di tengah situasi seperti itu, Indonesia juga mengalami ledakan jumlah penduduk dan pencari kerja. Jumlah penduduk, yang kini telah mencapai 240 juta orang, diperkirakan akan terus bertumbuh 4  juta per tahun. Sementara itu jumlah pencari kerja baru mencapai 3 juta per tahun, yang hanya bisa ditampung bila ekonomi tumbuh di atas 10%.
Kenyataan ini jelas mewajibkan pemerintah mencari jalan yang efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Sebab, cepat atau lambat, kalau kelesuan ekonomi berlangsung, angka kejahatan termasuk terorisme bakal meningkat. Maka, saat ini Indonesia seolah berada pada posisi ‘liberalisasi atau mati’. Ada pilihan lain?
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/liberalisasi-atau-mati#sthash.4yWbZ6Iq.dpuf
Indonesianreview.com
Ekonomi Indonesia
IndonesiaReview.com -- Akhirnya Jokowi memutuskan untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Maka, mulai pekan depan, serangkaian paket deregulasi akan mulai digulirkan. Untuk memperlancar arus modal masuk dan memperkuat rupiah, katanya.
Bila Rizal Ramli masih di luar pemerintah, dia mungkin akan berteriak keras menentang kebijakan tersebut. Sebagaimana kerap dia ungkapkan di masa lalu, liberalisasi ekonomi adalah bagian dari skenario kapitalis global untuk mengangkangi perekonomian negara sedang berkembang seperti Indonesia.
Namun pemerintah tampaknya tak punya pilihan di tengah kemelut ekonomi global dan dalam negeri yang telah menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan. Ada dua alasan pemerintah mengapa liberalisasi ekonomi tak terhindarkan. Pertama, menderasnya modal asing bisa menciptakan pekerjaan, sekaligus mempertahankan yang sudah ada. Kedua, bisa memperkuat nilai tukar rupiah.
Sekarang saja keluhan para pedagang produk industri sudah sangat keras karena kenaikan harga barang dagangan mereka. Mereka sudah memperingatkan pemerintah bahwa banyak dari mereka akan gulung tikar dalam beberapa bulan ke depan kalau rupiah terus melemah. Sementara itu para industrialis membuktikannya dengan pengurangan jam kerja, bahkan penutupan pabrik.
Bisa jadi, liberalisasi yang akan dilakukan oleh Jokowi terkait dengan kenyataan bahwa ada korelasi antara kebebasan ekonomi dengan tingkat kesejahteraan sebuah negara.
Kebebasan ekonomi memiliki korelasi dengan kesejahteraan sebuah negara. Hal ini tercermin pada Index of Ecconomic Freedom 2015, yang dibuat oleh The Wallstreet Journal dan The Heritage Foundation. Lebih 90% perekonomian yang masuk dalam kategori Bebas (Free), dan Sangat Bebas (Mostly Free). Sebaliknya, hampir semua yang masuh dalam perekonomian Mostly Unfree dan Repressed adalah negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Negara - negara Asia yang perekonomiannya tergolong Free dan Mostly Free adalah Jepang, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Malaysia. Sedangkan yang tergolong Mostly Unfree dan Repressed di antaranya adalah Indonesia, Bhutan, Kamboja, Vietnam, dan Laos. Di negara-negara ini pemerintahnya melaksanakan kebijakan ekonomi proteksionistik dengan alasan untuk menumbuhkan industri dan produksi dalam negeri.
Di zaman Suharto, Indonesia juga menjalankan kebijakan semacam itu. Hasilnya, sebagaimana terungkap dalam Kajian Kunio Yoshihara, Indonesia terperangkap dalam ekonomi biaya tinggi karena dibebani oleh kepentingan pribadi para industrialis palsu. Yaitu orang-orang dekat penguasa yang menjadi sangat kaya karena  hanya mereka yang diizinkan pemerintah menjadi pemain utama dalam pereknomian nasional.
Bila pemerintah berharap bahwa liberalisasi ekonomi yang akan dilakukan akan memikat banya pemodal, mungkin berlebihan. Maklum, pemerintah maupun swasta, saat ini lebih suka melakukan kebijakan mengencangkan ikat pinggang. Dengan kata lain, mereka memilih bermain aman ketimbang masuk ke wilayah baru yang belum jelas masa depannya. Apalagi Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara yang ‘ganti pemerintah ganti kebijakan’.
Selain itu, liberalisasi juga dilakukan oleh banyak negara. Alasan mereka juga sama dengan Indonesia, yaitu untuk memikat modal asing sebanyak mungkin. Apa boleh buat, sekarang ini tak ada negara yang bebas dari dampak buruk dari kemelut ekonomi global. Bahkan motor utama perekonomian dunia – Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur – masih berkecendrungan kian lesu.
Celakanya, di tengah situasi seperti itu, Indonesia juga mengalami ledakan jumlah penduduk dan pencari kerja. Jumlah penduduk, yang kini telah mencapai 240 juta orang, diperkirakan akan terus bertumbuh 4  juta per tahun. Sementara itu jumlah pencari kerja baru mencapai 3 juta per tahun, yang hanya bisa ditampung bila ekonomi tumbuh di atas 10%.
Kenyataan ini jelas mewajibkan pemerintah mencari jalan yang efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Sebab, cepat atau lambat, kalau kelesuan ekonomi berlangsung, angka kejahatan termasuk terorisme bakal meningkat. Maka, saat ini Indonesia seolah berada pada posisi ‘liberalisasi atau mati’. Ada pilihan lain?
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/liberalisasi-atau-mati#sthash.4yWbZ6Iq.dpuf
Ekonomi Indonesia
IndonesiaReview.com -- Akhirnya Jokowi memutuskan untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Maka, mulai pekan depan, serangkaian paket deregulasi akan mulai digulirkan. Untuk memperlancar arus modal masuk dan memperkuat rupiah, katanya.
Bila Rizal Ramli masih di luar pemerintah, dia mungkin akan berteriak keras menentang kebijakan tersebut. Sebagaimana kerap dia ungkapkan di masa lalu, liberalisasi ekonomi adalah bagian dari skenario kapitalis global untuk mengangkangi perekonomian negara sedang berkembang seperti Indonesia.
Namun pemerintah tampaknya tak punya pilihan di tengah kemelut ekonomi global dan dalam negeri yang telah menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan. Ada dua alasan pemerintah mengapa liberalisasi ekonomi tak terhindarkan. Pertama, menderasnya modal asing bisa menciptakan pekerjaan, sekaligus mempertahankan yang sudah ada. Kedua, bisa memperkuat nilai tukar rupiah.
Sekarang saja keluhan para pedagang produk industri sudah sangat keras karena kenaikan harga barang dagangan mereka. Mereka sudah memperingatkan pemerintah bahwa banyak dari mereka akan gulung tikar dalam beberapa bulan ke depan kalau rupiah terus melemah. Sementara itu para industrialis membuktikannya dengan pengurangan jam kerja, bahkan penutupan pabrik.
Bisa jadi, liberalisasi yang akan dilakukan oleh Jokowi terkait dengan kenyataan bahwa ada korelasi antara kebebasan ekonomi dengan tingkat kesejahteraan sebuah negara.
Kebebasan ekonomi memiliki korelasi dengan kesejahteraan sebuah negara. Hal ini tercermin pada Index of Ecconomic Freedom 2015, yang dibuat oleh The Wallstreet Journal dan The Heritage Foundation. Lebih 90% perekonomian yang masuk dalam kategori Bebas (Free), dan Sangat Bebas (Mostly Free). Sebaliknya, hampir semua yang masuh dalam perekonomian Mostly Unfree dan Repressed adalah negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Negara - negara Asia yang perekonomiannya tergolong Free dan Mostly Free adalah Jepang, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Malaysia. Sedangkan yang tergolong Mostly Unfree dan Repressed di antaranya adalah Indonesia, Bhutan, Kamboja, Vietnam, dan Laos. Di negara-negara ini pemerintahnya melaksanakan kebijakan ekonomi proteksionistik dengan alasan untuk menumbuhkan industri dan produksi dalam negeri.
Di zaman Suharto, Indonesia juga menjalankan kebijakan semacam itu. Hasilnya, sebagaimana terungkap dalam Kajian Kunio Yoshihara, Indonesia terperangkap dalam ekonomi biaya tinggi karena dibebani oleh kepentingan pribadi para industrialis palsu. Yaitu orang-orang dekat penguasa yang menjadi sangat kaya karena  hanya mereka yang diizinkan pemerintah menjadi pemain utama dalam pereknomian nasional.
Bila pemerintah berharap bahwa liberalisasi ekonomi yang akan dilakukan akan memikat banya pemodal, mungkin berlebihan. Maklum, pemerintah maupun swasta, saat ini lebih suka melakukan kebijakan mengencangkan ikat pinggang. Dengan kata lain, mereka memilih bermain aman ketimbang masuk ke wilayah baru yang belum jelas masa depannya. Apalagi Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara yang ‘ganti pemerintah ganti kebijakan’.
Selain itu, liberalisasi juga dilakukan oleh banyak negara. Alasan mereka juga sama dengan Indonesia, yaitu untuk memikat modal asing sebanyak mungkin. Apa boleh buat, sekarang ini tak ada negara yang bebas dari dampak buruk dari kemelut ekonomi global. Bahkan motor utama perekonomian dunia – Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur – masih berkecendrungan kian lesu.
Celakanya, di tengah situasi seperti itu, Indonesia juga mengalami ledakan jumlah penduduk dan pencari kerja. Jumlah penduduk, yang kini telah mencapai 240 juta orang, diperkirakan akan terus bertumbuh 4  juta per tahun. Sementara itu jumlah pencari kerja baru mencapai 3 juta per tahun, yang hanya bisa ditampung bila ekonomi tumbuh di atas 10%.
Kenyataan ini jelas mewajibkan pemerintah mencari jalan yang efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Sebab, cepat atau lambat, kalau kelesuan ekonomi berlangsung, angka kejahatan termasuk terorisme bakal meningkat. Maka, saat ini Indonesia seolah berada pada posisi ‘liberalisasi atau mati’. Ada pilihan lain?
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/liberalisasi-atau-mati#sthash.4yWbZ6Iq.dpuf
Ekonomi Indonesia
IndonesiaReview.com -- Akhirnya Jokowi memutuskan untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Maka, mulai pekan depan, serangkaian paket deregulasi akan mulai digulirkan. Untuk memperlancar arus modal masuk dan memperkuat rupiah, katanya.
Bila Rizal Ramli masih di luar pemerintah, dia mungkin akan berteriak keras menentang kebijakan tersebut. Sebagaimana kerap dia ungkapkan di masa lalu, liberalisasi ekonomi adalah bagian dari skenario kapitalis global untuk mengangkangi perekonomian negara sedang berkembang seperti Indonesia.
Namun pemerintah tampaknya tak punya pilihan di tengah kemelut ekonomi global dan dalam negeri yang telah menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan. Ada dua alasan pemerintah mengapa liberalisasi ekonomi tak terhindarkan. Pertama, menderasnya modal asing bisa menciptakan pekerjaan, sekaligus mempertahankan yang sudah ada. Kedua, bisa memperkuat nilai tukar rupiah.
Sekarang saja keluhan para pedagang produk industri sudah sangat keras karena kenaikan harga barang dagangan mereka. Mereka sudah memperingatkan pemerintah bahwa banyak dari mereka akan gulung tikar dalam beberapa bulan ke depan kalau rupiah terus melemah. Sementara itu para industrialis membuktikannya dengan pengurangan jam kerja, bahkan penutupan pabrik.
Bisa jadi, liberalisasi yang akan dilakukan oleh Jokowi terkait dengan kenyataan bahwa ada korelasi antara kebebasan ekonomi dengan tingkat kesejahteraan sebuah negara.
Kebebasan ekonomi memiliki korelasi dengan kesejahteraan sebuah negara. Hal ini tercermin pada Index of Ecconomic Freedom 2015, yang dibuat oleh The Wallstreet Journal dan The Heritage Foundation. Lebih 90% perekonomian yang masuk dalam kategori Bebas (Free), dan Sangat Bebas (Mostly Free). Sebaliknya, hampir semua yang masuh dalam perekonomian Mostly Unfree dan Repressed adalah negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Negara - negara Asia yang perekonomiannya tergolong Free dan Mostly Free adalah Jepang, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Malaysia. Sedangkan yang tergolong Mostly Unfree dan Repressed di antaranya adalah Indonesia, Bhutan, Kamboja, Vietnam, dan Laos. Di negara-negara ini pemerintahnya melaksanakan kebijakan ekonomi proteksionistik dengan alasan untuk menumbuhkan industri dan produksi dalam negeri.
Di zaman Suharto, Indonesia juga menjalankan kebijakan semacam itu. Hasilnya, sebagaimana terungkap dalam Kajian Kunio Yoshihara, Indonesia terperangkap dalam ekonomi biaya tinggi karena dibebani oleh kepentingan pribadi para industrialis palsu. Yaitu orang-orang dekat penguasa yang menjadi sangat kaya karena  hanya mereka yang diizinkan pemerintah menjadi pemain utama dalam pereknomian nasional.
Bila pemerintah berharap bahwa liberalisasi ekonomi yang akan dilakukan akan memikat banya pemodal, mungkin berlebihan. Maklum, pemerintah maupun swasta, saat ini lebih suka melakukan kebijakan mengencangkan ikat pinggang. Dengan kata lain, mereka memilih bermain aman ketimbang masuk ke wilayah baru yang belum jelas masa depannya. Apalagi Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara yang ‘ganti pemerintah ganti kebijakan’.
Selain itu, liberalisasi juga dilakukan oleh banyak negara. Alasan mereka juga sama dengan Indonesia, yaitu untuk memikat modal asing sebanyak mungkin. Apa boleh buat, sekarang ini tak ada negara yang bebas dari dampak buruk dari kemelut ekonomi global. Bahkan motor utama perekonomian dunia – Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur – masih berkecendrungan kian lesu.
Celakanya, di tengah situasi seperti itu, Indonesia juga mengalami ledakan jumlah penduduk dan pencari kerja. Jumlah penduduk, yang kini telah mencapai 240 juta orang, diperkirakan akan terus bertumbuh 4  juta per tahun. Sementara itu jumlah pencari kerja baru mencapai 3 juta per tahun, yang hanya bisa ditampung bila ekonomi tumbuh di atas 10%.
Kenyataan ini jelas mewajibkan pemerintah mencari jalan yang efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Sebab, cepat atau lambat, kalau kelesuan ekonomi berlangsung, angka kejahatan termasuk terorisme bakal meningkat. Maka, saat ini Indonesia seolah berada pada posisi ‘liberalisasi atau mati’. Ada pilihan lain?

0 komentar: