Pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
Dengan demikian, RUU tersebut siap dibahas oleh panitia kerja (panja) pemerintah dengan DPR.
Ketua Komisi XI DPR Ahmadi Noor Supit mengaku, akhirnya DPR, pemerintah, dan BI menyepakati keikutsertaan Presiden RI dalam menentukan kondisi stabilitas sistem keuangan apakah termasuk kategori normal atau tidak normal (krisis).
Menurutnya, Presiden RI akan ambil keputusan setelah adanya kesepakatan dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Supit mengatakan, peran Presiden diperlukan lantaran keputusan kondisi krisis akan berujung pada penggunaan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Jadi tidak boleh hanya setingkat menteri yang mengambil keputusan," kata Supit kepada KONTAN, Kamis (11/2).
Tak hanya itu, ia juga mengaku bahwa DPR dan pemerintah juga menyepakati bahwa KSSK hanya terdiri dari tiga anggota.
Pertama, Menteri Keuangan sebagai koordinator KSSK.
Kedua, Gubernur Bank Indonesia (BI) dan ketiga, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurutnya, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya memiliki hak bicara dan tidak memiliki hak suara dalam penentuan kondisi krisis.
Sebab, kondisi krisis juga hanya bisa dilakukan lembaga tertinggi di negara ini.
Pembahasan RUU memang cukup alot. Dari target penyelesaian pada Oktober 2015 lalu, hingga kini belum ada kelanjutan pembahaan RUU tersebut.
Salah satu poin yang dipersoalkan DPR selama ini yaitu mengenai penetapan status stabilitas sistem keuangan yang harus melibatkan Presiden, tidak hanya KSSK.
Menurut Supit, dengan sudah adanya kesamaan prinsip ini maka RUU JPSK ditargetkan akan rampung sebelum masa sidang yang berakhir pada Maret mendatang.
Kontan.co.id
0 komentar:
Posting Komentar