Kamis, 19 Mei 2016

Perekonomian Indonesia Didominasi Utang dan Investasi Asing

Pengamat  Ekonomi Politik, Tarli Nugroho menilai, secara intrinsik, pernyataan Jokowi tentang berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang menjadi agenda pemerintahannya tidak dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), mengandung dua maksud.

Disebutkan, dua maksud tersebut yakni negara tidak memiliki anggaran yang cukup untuk membiayai berbagai agenda pembangunan atau karena 'sejumlah kepentingan', meskipun tidak punya anggaran, berbagai proyek itu harus tetap berjalan.

“Secara teori, posisi investasi asing atau utang luar negeri dalam kegiatan pembangunan sebenarnya hanya bersifat sekunder saja. Tapi, kenyataannya, posisi utang dan investasi asing dalam perekonomian Indonesia semakin dominan,” sebut Tarli, dalam keterangan tertulis yang diterima Cendana News, di Jakarta, Kamis (04/02/2016).

Dia mengungkapkan, porsi kepemilikan asing dalam SUN (Surat Utang Negara) kini sudah lebih dari 37 persen. sedangkan untuk kepemilikan saham publik sudah melibihi dari 50 persen.

“Asing juga menguasai 64 persen saham publik di bursa saham NKRI,” Ungkapnya

Namun hal tersebut tidak mempebaiki perekonomian, dimana utang Indonesia juga jumlahnya terus meningkat. Seperti yang disebutkan Kementerian Keuangan, jumlah utang pemerintah hingga akhir 2015 sudah menembus Rp3.089 triliun, atau sekitar 27 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Menurut tarli, Berdasarkan laporan Bank Dunia (Desember 2015), sepanjang 2015 tambahan utang pemerintah Indonesia mencapai Rp563,4 triliun. Jumlah itu berasal dari penerbitan sekuritas Rp510,4 triliun dan pinjaman luar negeri Rp53 triliun.

Penambahan utang tersebut juga tidak diikuti dengan realisasi target penerimaan pajak. Pada 2015, bahkan mencapai angka terendah dalam sepuluh tahun terakhir.

Lebih Lanjut, Tarli menambahkan ditengah situasi semacam itu, untuk membiayai berbagai program infrastruktur, pemerintah kemudian mengambil jalan pintas dengan menjadikan BUMN sebagai pion pembangunan infrastruktur. Hingga saat ini utang BUMN sudah mencapai 10,4 persen dari total utang luar negeri Indonesia.

Ia menjelaskan, membengkaknya utang luar negeri, salah satunya dengan menjadikan seolah berbagai proyek pembangunan infrastruktur adalah proyek “business to business (B to B)” dari BUMN, sehingga persetujuan DPR itu tidak lagi diperlukan.

Dikatakan, sejumlah utang itu berasal dari Bank Pembangunan Cina (CDB). CBD memberikan utang senilai US$3 miliar, atau sekitar Rp42 triliun kepada PT Bank Mandiri Tbk., PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI). Pinjaman dari Cina ini merupakan pinjaman "B to B". Komposisinya, 70 persen dalam bentuk dollar dan 30 persen dalam bentuk mata uang China (Reminbi atau Yuan).

Persoalannya, utang dari CBD tadi, misalnya, tenornya hanya 10 tahun, sementara "payback period" proyek-proyek yang dibiayainya diperkirakan puluhan tahun. Meskipun utang-utang BUMN itu bersifat B to B, namun kemungkinan kegagalan BUMN kita dalam menangani utang-utang itu tetap akan berimplikasi terhadap APBN.

Oleh karenanya, klaim presiden Jokowi bahwa berbagai proyek pembangunan infrastruktur itu tidak dibiayai oleh APBN, secara ekstrinsik sebenarnya harus dibaca sebagai usaha untuk melonggarkan dan bahkan memutus kontrol publik terhadap sejumlah proyek pembangunan infrastruktur.

Repelita.com
Cendananews.com

0 komentar: