Kamis, 25 Agustus 2016

Menghindari Kepunahan Industri Baja RI


Pertemuan para produsen baja se-Asean akhir Mei lalu di Vietnam menyisakan pertanyaan mendalam tentang masa depan industri baja kawasan termasuk Indonesia setelah melihat gambaran kinerjanya tahun lalu.

Asosiasi Baja Dunia melaporkan bahwa China sangat mendominasi produksi baja dunia. Dari total produksi baja kasar dunia tahun lalu 1.600 juta ton, separuhnya produksi Negeri Tirai Bambu. Sementara itu, Asean-6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, Vietnam dan Singapura) dengan tingkat konsumsi 70 juta ton per tahun dan pertumbuhan 5,1% per tahun, hanya mampu memproduksi 29 juta ton, dengan pertumbuhan hanya 4,4 %. Kenyataannya produsen Asean hanya mampu mengisi 29% konsumsi domestiknya dan 49 juta ton sisanya diimpor. Skala produksi Asean hanya 3,6% dari China, sehingga daya saing terhadap China hampir tidak ada.

Seperti halnya rekan seAsean, Indonesia dengan tingkat konsumsi baja hanya 11,4 juta ton per tahun, di bawah Vietnam dan Thailand, sama tidak berdayanya. Negara kita meng impor 6,5 juta ton tahun lalu, atau lebih dari 50% total kebutuhan. Situasi seperti ini sudah terjadi menahun dan karena pertumbuhan impor selalu lebih besar dari pertumbuhan produksinya, mudah diramalkan bahwa in dustri baja RI maupun Asean sangat tertekan hari ke hari.

Indonesia maupun negara Asean sudah mengenakan instrumen anti dumping untuk berbagai kategori baja karbon, tetapi perlambatan impor belum terlihat nyata. Di lain pihak China telah mengenakan pajak ekspor 15% – 25% untuk bahan/semi-finished baja karbon, sehingga pengguna membeli lebih mahal, tapi baja batangan paduan tidak dikenakan. Bah kan paduan diberikan tax rebate 13%.

Secara ‘cerdas’ produsen China membubuhkan elemen boron 0,0008% atau chromiun 0,3%, agar terklasifikasi baja paduan hingga dapat mengecap kedua fasilitas tersebut, padahal secara metalurgi tidak meningkatkan sifat mekanis ataupun kimianya. Berbeda untuk baja karbon, Asean mengenakan tarif impor baja paduan kecil nyaris 0%, karena baja jenis ini bahan baku industri permesinan. Di tengarai sepanjang 2015 sekitar 4 juta ton bahan terklasifikasi jenis ini masuk ke Asean, sehingga volume ekspor ke Asean tahun lalu meningkat 28%.

Produsen baja seperti halnya Asean memang harus berhadapan head to head dengan China karena jenis dan kualitas baja yang dihasilkan sama, yaitu baja komersial untuk infrastruktur. Indonesia dengan produksi bajanya yang tak lebih dari 0,5% China hanya mendapat perlindungan yang minim dari pemerintah, di bandingkan dengan produsen Negeri Panda dengan kapasitas raksasa serta bantuan penuh negaranya untuk ekspor. Persaingan dengan produsen Jepang atau Korea Selatan tidak seketat dengan China karena produk dan kualitas yang diekspor berbeda.

Tekanan serupa dialami industri baja RI sehingga utilisasi pabrik hanya rata-rata 50% dan sudah berlangsung lebih dari 5 tahun. Tahun lalu lebih diperberat karena harga baja dunia hanya US$325/ton turun 37% dari tahun sebelumnya, rekor terendah selama 10 tahun terakhir, di samping pasar yang menyusut.

Bila keadaan seperti ini terus berlanjut sehingga perusahaan terus merugi, dapat diramalkan tidak lama lagi satu demi satu produsen baja akan berguguran. Lebih jauh karena biaya listrik dan gas yang luar biasa mahalnya di negara kita, beberapa produsen berhenti memproduksi baja kasar, dan mengimpor bahan baku seperti slab, billet dan lain-lain. Celakanya bahan baku tersebut awalnya yang murah hanya diperoleh dari China, karena bahan baku baja bukan komoditas yang umum diperdagangkan, harga adalah kesepakatan penjual dan pembeli.

Nah, inilah buah simalakamanya, dengan China menerapkan pajak ekspor bahan baku, ongkos produksi di dalam negeri tidak bisa lagi tertutup oleh hasil penjualan. Maka bagaimana produsen Indonesia mencari jalan keluar? Tak lain menjadi pengimpor, dan menjadi berdagang produk baja, mungkin banyak sudah yang melupakan berproduksi. Sungguh ini merupakan awal bencana bagi industri baja kita.

Baja adalah lambang ketahanan industrialisasi suatu negara, dengan konsumsi per kapita per tahun RI hanya 45 kg, di bawah Asean 125 kg, dan jauh di bawah Korsel yang sudah mencapai 1.136 kg, sebenarnya peluang industri sangat besar untuk terus berkembang. Kebutuhan untuk pembangunan infrastruktur akan sangat besar ke depan. Negara maju seperti AS, Jepang tetap dengan segala upaya melindungi industri ini, karena baja sangat dibutuhkan bagi pembangunan serta ketahanan negara dalam memproduksi peralatan militer dan sebagainya.

JALAN KELUAR

Pertama-tama produsen harus lebih berjuang keras meningkatkan intensitas efisiensi di segala lini, menekan biaya, meningkatkan kualitas, serta melakukan terobosan inovasi memproduksi baja bernilai tambah lebih tinggi untuk bahan baku produk high-end di luar sektor konstruksi. Strategi menggandeng EPC company untuk masuk ke proyek strategis harus menjadi keniscayaan, dan industriawan baja harus berupaya keras untuk tidak hanya bermental pedagang.

Kedua, saatnya pemerintah dan rakyat Indonesia sendiri yang harus menolong agar ne geri ini bisa tetap memiliki industri baja dan me laksanakan proses industrialisasi ke depan.

Pemerintah harus cepat tanggap memfasilitasi produsen dari serangan impor melalui instrumen perdagangan dengan proses yang sesingkat mungkin. Lupakan prosedur WTO bahwa proses bisa sampai 18 bulan untuk menginvestigasi kecurangan dagang, laksanakan jangan lebih dari 3—4 bulan. Hilangkan ambigu keputusan antara membela sektor hulu atau sektor pemakai baja. Asumsi melindungi industri baja merugikan konsumen pemakai tidak terbantahkan, tetapi bila industri baja Indonesia punah, dan menjadi pengimpor 100%, pemerintah harus rela bahwa bisnis baja kelak menjadi tidak terkendali dan menjadi importer game.

Otoritas pelabuhan harus dilatih untuk mengenal praktik pelarian nomor harmonized system, agar baja karbon tidak diklasifikasi sebagai baja paduan. Kalau tidak mampu terapkan pre-inspection dari negara asal oleh surveyor pemerintah. Dan kenakan penalti yang berat terhadap pelanggar ketentuan jangan hanya sanksi administrasi. Terapkan secara tegas ketentuan penggunaan produk baja dalam negeri dalam proyek-proyek pemerintah, termasuk proyek KKKS Migas. Ajakan-ajakan menggunakan produk dalam negeri sekarang sudah terdengar sepoi-sepoi harus diintensifkan. Masukkan dalam kurikulum sekolah.

Tidak kalah penting adalah keberpihakan pemerintah untuk memberikan harga listrik dan gas yang bersaing pada industri khususnya baja yang sangat lahap energi. Singapura sebagai contoh memberikan tarif listrik yang lebih tinggi bagi sektor perumahan atau mal karena dianggap bukan sektor produktif. Dan sangat ironis kalau gas untuk industri di Korea yang seluruhnya diimpor, ternyata lebih murah dari pada di Indonesia.

Terakhir, sudah saatnya masyarakat membantu para produsen Indonesia untuk bangkit, dengan mengutamakan produksi dalam negeri, terutama baja.

*) AGUS TJAHAJANA WIRAKUSUMAH, Mantan Dirjen Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka, Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

                                          ----------------------------+++-------------------------




BANJIR PRODUK MURAH: Industri Baja Terhimpit China

Industri baja nasional kian terjepit akibat masih membanjirnya produk baja dari China berharga murah yang diperkirakan mencapai hingga tujuh juta ton.

Direktur Eksekutif IISIA Hidayat Triseputro mengatakan total komitmen produsen baja China mengurangi produksi hingga sekarang tidak dijalankan. Ekspor China ke seluruh dunia mencapai 112 juta ton, sekitar 32 juta ton ke Asean, dan sekitar 7 juta ton ke Indonesia.

Dia menuturkan hal tersebut membuat negara Eropa geram karena menurut catatannya, produksi baja mentah China hingga Maret 2016 mencapai 77 juta ton atau meningkat 2,9% dari Maret tahun lalu. “Ini bukan kami merengek-rengek. Semua negara mengatakan hal yang sama. Ini adalah perang dagang. Jangan sok menjadi good boy ,” ujarnya saat ditemui di sela pembukaan pameran industri logam di kantor Kementerian Perindustrian, Rabu (24/8).

International Relations Director Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Purwono Widodo menambahkan produsen baja Indonesia akan sulit bersaing dengan produk baja asal China karena negara itu telah menikmati margin hingga 28% yang berasal dari pelaksanaan kebijakan tax rebate yang mencapai 9%-13% dan bea masuk yang mestinya ditetapkan sebesar 15% menjadi hapus.

Asean South East Asia Iron & Steel Institute, asosiasi besi dan baja Asean, pada awal tahun ini melaporkan bahwa pemerintah China telah menghapus fasilitas tax rebate untuk beberapa produk baja lapis boron untuk hot rolled plate, baja lembaran, hot rolled narrow , wire rod dan baja batang-an sejak 2015. Namun, hal itu disiasati produsen China dengan memproduksi barang baru.

“Produsen baja China dilaporkan menambah elemen paduan lain seperti kromium agar produk yang dihasilkan terus mendapatkan keuntungan dari fasilitas tax rebate,” ujarnya.


KEUNTUNGAN

Selain mendapatkan fasilitas tax rebate , dengan mengekspor baja paduan atau campuran, lanjutnya, China akhirnya bisa terhindar dari bea masuk sebesar 15% yang dikenakan pada produk baja karena baja paduan mengandung kadar boron, bea masuknya 0%. “Jadi mereka sudah mendapat keuntungan 28%.” Purwono mengatakan kondisi itu, diperparah dengan menyusulnya negara seperi Korea Selatan dan Jepang yang juga mematok harga mirip dengan China. Pelaku industri baja sangat mengharapkan pemerintah memproteksi pasar domestik.

Menurutnya, proteksi yang paling umum bagi industri baja yang juga sudah diterapkan Indonesia antara lain menggunakan tarif, tapi dengan berlakunya most fovoured nation (MFN) proteksi tidak akan mumpuni. “Dengan China kita terikat dengan perjanjian China Free Trade Agreement , dengan Korea ada Asean-Korea, dengan Jepang ada IJEPA, artinya percuma. Satu-satunya adalah trade remedies bisa anti dumping, safeguard atau minimum import price ,” ujarnya.

Setelah selama tiga tahun terakhir produksi baja stagnan, pebisnis mendesak pemerintah segera mem- bangun fasilitas produksi lanjutan. Purwono menyebutkan batas persentase impor baja maksimum 30% bagi kestabilan negara, bahkan idealnya 20%. “Harus ada Cilegon kedua danCilegon ketiga misal di Banyuwangi atau di Kalimantan dan Sulawesi biar biayanya lebih rendah karena daerah timur juga masih butuh banyak baja,” imbuhnya.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian mengatakan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan tiga jenis baja yang akan dikenai bea masuk anti dumping (BMAD). Ketiga jenis baja tersebut antara lain hot rolled coil (HRC), cold rolled coil (CRC), dan colled rolled stainless steel (CRS). “Nanti masih kami rapatkan wak tu itu mereka mengajukan tapi waktunya sudah habis. Me mang ketiga jenis baja itu yang paling berpengaruh jadi kalau tidak diproteksi, industri bisa terganggu,” katanya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan juga telah memperpanjangtiga tahun pemberlakuan BMAD terhadap impor HRC asal China, Singapura, dan Ukraina. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.50/PMK.010/2016 yang terbit pada Maret lalu. Tarif tertinggi BMAD dikenakan atas impor hot rolled plate dari Singapura, yakni sebesar 12,5%. Sedangkan tarif BMAD untuk produk serupa dari Ukraina ditetapkan sebesar 12,33% dan China sebesar 10,47%.



Bisnis.com

0 komentar: