Jumat, 09 September 2016

Agar Tidak Sekedar Jadi Pasar

Indonesia adalah pasar yang amat subur bagi bisnis digital. Dengan jumlah pengguna Internet lebih dari 80 juta dan pengguna telepon seluler lebih dari 300 juta sambungan, tidak bisa dibantah bahwa potensi pasar Indonesia memang amat besar. Industri ini bisa tumbuh karena ada infrastruktur yang menopang, ada penyedia konten dan aplikasi yang kreatif, serta ada pengguna yang mendapatkan keuntungan darinya.

Salah satu segmen dalam industri digital yang berkembang pesat –sekaligus sering memicu perdebatan—adalah penyedia layanan over the top atau OTT. Secara harafiah, OTT artinya adalah penyedia layanan “di atasnya yang paling atas”.

Istilah ini biasanya digunakan untuk menyebut penyedia layanan berbasis protokol Internet yang menjalankan usaha dengan memanfaatkan infrastruktur telekomunikasi dan jaringan Internet. Ada OTT yang menyediakan layanan mirip dengan operator telekomunikasi, misalnya dengan layanan suara atau pesan instan di atas jaringan Internet.

Ada penyedia konten baik berbasis teks, gambar, maupun video, hingga streaming dan video interaktif. Ada pula yang merupakan kombinasi dari berbagai layanan komunikasi dan media sosial. Harap maklum, jenis layanan OTT terus berkembang seiring perkembangan teknologi dan kreativitas para pengembangnya. Para penyedia layanan OTT yang terkemuka kebanyakan beroperasi secara global dan lintas negara.

Di Indonesia, layanan OTT tumbuh pesat dan berhasil mengeruk keuntungan yang tidak sedikit. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan para pemain OTT global pada tahun lalu berhasil mengeruk keuntungan hingga US$800 juta atau sekitar Rp10,6 triliun. Angka ini diperkirakan terus meningkat pesat hingga mencapai paling tidak US$1 miliar pada tahun ini. (Bisnis, 8/9)

Harian ini mencatat ada beberapa persoalan yang perlu diperjelas terkait dengan keberadaan OTT dengan pertumbuhan pesat dan keuntungan sangat besar tersebut.

Pertama, hubungan antara penyedia OTT dengan para penyedia jaringan telekomunikasi. Kedua, keberadaan OTT sebagai entitas bisnis global yang beroperasi di Indonesia. Ketiga, posisinya yang seringkali amat memikat pengguna Internet dan sulit digantikan. Keempat, bagaimana menciptakan kondisi yang memungkinkan pemain lokal menggantikan peran OTT global. Hubungan antara penyedia OTT dengan para penyedia jaringan selama ini penuh tarik ulur.

Penyedia OTT bisa menyajikan layanan tanpa membangun jaringan. Padahal, sebagian layanan yang disediakan seperti “menggantikan” atau substitusi atas layanan telekomunikasi yang juga disediakan oleh para penyedia jaringan. Terlebih lagi dengan munculnya berbagai macam layanan yang boros bandwidth sehingga menghabiskan banyak kapasitas jaringan. Ini menimbulkan posisi sulit.

Membuka layanan menimbulkan beban, sementara menutup layanan akan ditinggalkan pengguna. Dalam konteks ini, baik penyedia jaringan maupun penyedia OTT perlu merumuskan pola kerja sama baru yang saling menguntungkan. Perlu ada model bisnis yang tepat agar penyedia OTT tidak semata-mata menjadi disrupsi atas penyedia jaringan atau operator telekomunikasi.

Keberadaan OTT sebagai entitas global yang beroperasi di Indonesia juga persoalan tersendiri. Kementerian Kominfo menginginkan penyedia OTT semacam ini membuat badan usaha tetap dan memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Dengan demikian ada kejelasan mengenai pajak dan kewajiban lain sebagaimana perusahaan lain yang beroperasi di Indonesia. Opsi lainnya, meminta perusahaan yang memiliki jutaan pengguna di Indonesia itu untuk menempatkan server di sini.

Harian ini mendukung upaya untuk mendorong OTT global agar memiliki badan usaha dan perwakilan di Indonesia serta menempatkan server di sini. Akan tetapi, tuntutan semacam itu hanya bisa terwujud jika pemerintah memiliki aturan yang jelas yang tidak multitafsir, serta tegas dalam menegakkan ketentuan yang berlaku. Dan di atas itu semua perlu ada visi yang jelas mengenai bagaimana industri digital ini akan dibawa.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah mendorong pengembang lokal untuk lebih kreatif dalam menggantikan peran penyedia OTT global. Lingkungan kreatif semacam ini dapat dibangun sejak dari hulu di bidang pendidikan, dukungan teknis melalui berbagai kemudahan dalam mengembangkan bisnis baru di bidang digital, sampai dengan hilirnya berupa insentif yang terkait dengan pembiayaan dan perpajakan.

Skema-skema global dalam pengembangan start up digital dapat digunakan sebagai pembanding dalam merumuskan kebijakan dalam mendorong hadirnya pemain lokal sebagai calon pengganti OTT global. Apabila ini semua dapat dijalankan, harian ini berharap Indonesia tidak sekadar menjadi pasar bagi para pemain global. Kita juga bisa merebut banyak kue dari bisnis digital yang terus berkembang ini.

Bisnis.com

0 komentar: