Banyak kalangan meragukan janji Presiden Joko Widodo mempercepat belanja pemerintah di sektor infrastruktur untuk mendorong perbaikan ekonomi di kuartal II 2015. Pasalnya, pembiayaan proyek-proyek tersebut direncanakan berasal dari penerimaan pajak yang dipatok sedemikian tinggi. Dan faktanya, pada kuartal I kemarin, realisasi penerimaan pajak cuma 13,3 persen. Ini jauh lebih rendah dibanding periode yang sama di tahun 2013 dan 2014 di mana realisasi penerimaan pajak sudah mencapai masing-masing 18,3 dan 25,31 persen.
Dalam APBN-P 2015, target pendapatan pajak dipatok Rp1.489,3 triliun;
melonjak 19,5 persen dibandingkan di APBN-P 2014. Dari lonjakan
penerimaan pajak inilah belanja negara yang terlanjur dipatok tinggi
semula akan dibiayai. Di bujet 2015, sektor infrastruktur digenjot naik 63 persen menjadi Rp290,4 triliun.
Pendapatan pajak otomatis juga harus didongkrak. Walaupun dana
subsidi energi telah berkurang setengahnya dari tahun lalu, menjadi
hanya Rp212 triliun, anggaran negara tidak cukup membiayai
proyek-proyek infrastruktur yang direncanakan, termasuk kebutuhan adanya
tambahan dana untuk menyuntik tambahan modal ke sejumlah BUMN --
nilainya mencapai Rp64 triliun -- yang terkait langsung dengan sektor
infrastruktur. (Baca juga: Benar Kata JK; Tak Dijegal Oposisi, Anggaran Infrastruktur Capai Rekor)
Grafik: Target Penerimaan Pajak Periode 2011-2015
Sumber: Bareksa.com
Bagus Putra Perdana, analis yang telah 10 tahun lebih berkecimpung
di pasar modal, melihat kelewat tingginya target pajak itu justru bisa
berdampak negatif terhadap pembiayaan proyek infrastruktur. Hal
itu akhirnya memaksa Ditjen Pajak mengambil berbagai langkah yang
dipandang tidak masuk akal, seperti pajak tol, bea materai untuk struk
belanja, dan rencana perubahaan pengenaan pajak rumah dan apartemen yang
masuk kategori mewah (PPnBM).
Menurut Bagus, warga kini mengerem konsumsi karena takut akan
berbagai rencana kenaikan pajak itu. Akibatnya, pendapatan perusahaan
otomatis merosot dan perolehan pajak penghasilan pun melorot.
“Ini blunder. Pemerintah yang semula ingin meningkatkan penerimaan pajak, malah tidak dapat apa-apa,” kata Bagus. (Baca juga: Benarkah Ekonomi di Era Jokowi-JK Lebih Buruk Dibanding Masa SBY? Ini Datanya).
Bagus menyarankan jika Presiden Jokowi serius ingin mendorong sektor
infrastruktur guna menumbuhkan ekonomi, maka pemerintah perlu berani
menaikkan defisit anggaran; membiayainya dengan hutang, bukan dengan
pajak yang dipatok kelewat tinggi seperti sekarang. Akan tetapi,
kebijakan ini perlu mendapat dukungan DPR.
Ia mencontohkan pemerintah Amerika Serikat yang meminta kenaikan plafon utang (debt ceiling)
pada tahun 2013 untuk membiayai kenaikan defisit anggaran akibat
melambatnya pertumbuhan ekonomi AS setelah dihantam krisis ekonomi 2008.
India juga memiliki defisit anggaran yang tinggi, namun indikator
ekonominya membaik yang tercermin dari peningkatan harga saham di negeri
ini. Per 2014, defisit anggaran India sempat mencapai 7,8 persen
tetapi pertumbuhan ekonominya malah bisa meningkat.
Sumber: Tradingeconomic
“Di beberapa negara, defisit anggaran malah jadi tanda pemerintah support growth. Jangan justru ditekan, sehingga pengusaha malah tidak bisa melakukan ekspansi.” Bagus menambahkan.
Pilihan lain adalah: jika tidak ingin menaikkan defisit anggaran, maka pemerintah tidak perlu menaikkan anggaran infrastruktur. Pembangunan
proyek-proyek infrastruktur ditetapkan sebagai program prioritas
sehingga penyerapan anggarannya dapat mencapai 100 persen. Dengan
begini, tanpa perlu menaikkan anggaran, sektor infrastruktur bisa tetap
meningkat.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan betapa realisasi proyek-proyek
infrastruktur di berbagai kementerian selama tahun 2012 dan 2013
tergolong rendah, di bawah 75 persen.
Sumber: Bareksa.com
Manajer Investasi PT Tugu Re-asuransi Indonesia, Gopal Nur Falah, menilai anggaran
untuk menopang program percepatan infrastruktur itu dirancang tidak
dengan secara cermat mempertimbangkan kondisi makro ekonomi saat ini.
Salah satu contohnya: di tengah anjloknya harga komoditas, pendapatan
dari sektor tambang dan perkebunan juga merosot. Tapi, pemerintah malah
menambah beban dengan menggenjot pajak.
Selain itu, Gopal melihat adanya keterbatasan kemampuan
perusahaan-perusahaan konstruksi di Indonesia dari segi permodalan dan
tenaga kerja. Karena itu, pembangunan berbagai megaproyek infrastruktur
tidak bisa dilaksanakan sekaligus. Inilah yang membuat pemerintah belum
lama ini meminta persetujuan DPR untuk menyuntik tambahan modal (PMN,
Penyertaan Modal Negara) untuk sejumlah BUMN Karya, seperti PT Adhi
Karya Tbk (ADHI) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT).
Grafik: Modal dan Rasio Utang BUMN Konstruksi Per Akhir Maret 2015
Sumber: Bareksa.com
Masalah lain adalah perencanaan pembangunan infrastruktur yang
beberapa dinilai Gopal terlalu dipaksakan. Sebagai contoh, ia
mempertanyakan kenapa pemerintah memprioritaskan pembangunan jalan tol
Trans Sumatera yang biayanya begitu besar tapi sebetulnya tidak feasible.
Kenapa tidak dimulai dengan membangun pelabuhan di daerah Sumatera,
seperti konsep "tol laut" yang pernah digembar-gemborkan Jokowi.
Tak cuma itu, masih ada persoalan nilai tukar. Digenjotnya proyek
infrastruktur akan melecut impor dan melemahkan nilai tukar rupiah. Maka
itu, pemerintah harus cepat bertindak mengamankan stok
barang-barang kebutuhan pokok, agar tidak terlalu terimbas ancaman
pelemahan nilai tukar rupiah. Inflasi
tahunan per akhir April 2015 hanya sebesar 6,79 persen, akan tetapi
harga beras telah melonjak hingga lebih dari 30 persen sepanjang kuartal
I 2015.
Jadi, "infrastruktur" bukanlah mantra sakti-mandraguna yang bisa
dengan serta-merta membuat perekonomian Indonesia kembali menggeliat
sehat. Ada banyak pekerjaan rumah yang musti dibereskan dulu.
--------------------------------oOo--------------------------
Sumber : bareksa.com
0 komentar:
Posting Komentar