Jumat, 10 Juli 2015

Tersedak Informasi

Belum lama ini, situs berita online ramai-ramai merilis daftar pembalut wanita yang mengandung zat berbahaya klorin berdasarkan sumber dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Menariknya, merek yang tercantum dalam berita-berita itu rupanya terdaftar juga di Kementerian Kesehatan. Beberapa jam kemudian, muncul jaminan dari Kemenkes, pembalut yang beredar di pasaran itu aman digunakan dan tidak ada standar internasional mengenai jumlah klorin yang diperbolehkan dalam produk khusus wanita itu.

Pada saat yang sama, datang juga berbagai pendapat dari para dokter kulit, bahkan ada pihak yang akhirnya memanfaatkan momentum ini untuk promo dagangan pembalut herbal.

Semua informasi tersebut nyatanya tidak membantu saya dalam menentukan jenis pembalut apa yang sebaiknya saya pilih. Apakah produk pasaran dengan bonus klorin, atau kembali ke masa lalu dengan mengikuti saran YLKI untuk menggunakan pembalut kain, atau melakukan order online pembalut herbal?

Dilema yang mungkin juga dialami oleh sekitar 67 juta wanita dalam usia subur di Indonesia, yang dalam sebulan bisa menghabiskan sekitar 1,4 miliar pembalut.

Ilustrasi di atas merupakan salah satu peristiwa yang membuat saya berkesimpulan bahwa banjir informasi di era teknologi maju seperti sekarang bisa diibaratkan seperti wanita dengan ketidakseimbangan hormon yang sedang berbelanja.

Si wanita pergi ke mall ribut berencana untuk membeli sepasang sepatu, sampai di mall malah asik browsing tas tangan karena banyak produk baru, dan pulangnya menenteng dua potong gaun malam karena sedang diskon. Entah ke mana menguapnya rencana untuk beli sepatu tadi.

Riuh, susah dicerna, dan tidak bisa dipilah mana yang masih relevan dengan tujuan awal. Informasi yang kita temukan sejak membuka mata hingga terlelap dengan bantuan teknologi canggih, justru menjadi selingan, bahkan gangguan, terhadap tindakan yang seharusnya kita lakukan, karena sangat masif dan seringkali, tidak relevan.

Contoh paling jelas tentu dapat kita temukan di masa pemilihan umum, baik eksekutif maupun legislatif.

Detik ini ada informasi bahwa calon A sangat bersih dan peduli rakyat, detik berikutnya muncul penjelasan bahwa si A ternyata sekedar politisi kebanyakan yang sangat ahli mengabaikan kepentingan pihak yang disebut rakyat.

Ketika pemilihan usai, diskusi berkembang menjadi bagaimana semua yang dulu memilih si A telah melakukan kesalahan yang amat sangat fatal, sementara si pemilih A mati-matian membela pilihannya dengan memamerkan program-program yang sebenarnya juga tidak mereka pahami.

Kemudian berkembang lagi wacana bahwa pemilih A adalah kaum bigot yang terhipnotis pencitraan, dan pada saat yang sama kaum yang tidak memilih A adalah para haters yang bertugas menyebarkan kebencian di seluruh dunia.

Sementara itu, si A mungkin tidak peduli dengan “perang” yang tengah berlangsung. Semua terjadi dalam diskusi publik, baik media sosial maupun media mainstream.

Neil Postman, kritikus media asal AS, lewat bukunya “Amusing Ourselves to Death” berpendapat bahwa informasi yang kita konsumsi sehari-hari melempem, sekedar memberikan kita sesuatu untuk didiskusikan namun tidak memandu kita untuk melakukan sesuatu yang signifikan.

Saya terpaksa setuju dengan Postman. Tulisan ini mungkin juga tidak menyajikan solusi apa-apa selain menambah kerutan di dahi Anda.

Menemukan solusi untuk menghindari tersedak informasi juga bukan perkara mudah. Opsi yang mungkin bisa kita lakukan adalah memilah sumber informasi dari media yang kredibel, dan tidak membagikan tautan informasi yang sumir. Itupun hanya supaya kita tidak ikut membuat orang lain tersedak informasi. Selain itu, diet informasi mungkin juga bisa dipertimbangkan.

Di sisi lain, bagi kami para pekerja media, mungkin sudah saatnya untuk introspeksi diri dan lebih seksama memilah informasi yang diterbitkan.

Bisnis.com

0 komentar: