Senin, 29 Februari 2016

Paket Kebijakan Ekonomi X: Apa Wujud Kongkrit Dukungan untuk UKM?

Sudah saatnya pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang berkepentingan dengan pertumbuhan ekonomi berbasis usaha kecil dan menengah yang kokoh dan merata di pelbagai sektor usaha serta meluas di pelbagai wilayah, memikirkan strategi dan tindakan kongkrit yang lebih baik.

Kepala BKPM Franky Sibarani mengatakan, Paket Kebijakan Ekonomi 10 mendukung pertumbuhan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah). Dalam DNI (Daftar Negatif Investasi) terbaru di dalamnya ada sejumlah bidang usaha yang disediakan untuk UMKM dan sejumlah lainnya dicadangkan untuk kemitraan. Artinya, kalau investor asing modalnya kategori UMKM (dibawah Rp 10 M), diwajibkan bermitra dengan UMKM Indonesia. Semangatnya sesuai dengan amanah UU No.20 Thn. 2008 yang melindungi UMKM.

Dinamika perkembangan bisnis dan ekonomi makro demikian tinggi, membuat lanskap kegiatan usaha mengalami banyak perubahan. Teknologi informasi telah mendorong banyak terobosan dan kreativitas baru di bidang bisnis, relatif tanpa perlu konsentrasi modal yang besar dan masif di satu tangan. Mereka bahkan telah meciptakan lapangan pekerjaan baru bagi ratusan ribu orang. Diantaranya, di bidang transpotasi, telah muncul Go-jek, Grab-bike, Grab Car, dan Ubber Car (perusahaan transpotasi besar, ada di banyak negara, tanpa memiliki armada kendaraan). Di luar bidang transpotasi ada sejumlah perkembangan yang juga luar biasa, kebanyakan didukung aplikasi teknologi informasi.

Kesungguhan pemerintah mendukung perkembangan UMKM perlu dipertegas supaya benar-benar terwujud, terlaksana, dan menghasilkan impak positif yang besar, bukan berputar-putar di sekitar undang-undang, DNI, dan kebijakan-kebijakan lain yang kurang konsisten dan sering "masuk angin" di tengah jalan -- antara perencanaan (action plan) dan fakta lapangan jurang perbedaannya masih jauh. Kesungguhan dukungan pemerintah untuk memajukan UMKM mestinya juga berpijak pada perkembangan fakta ekonomi dan lanskap bisnis saat ini.

Hal paling mendasar untuk membuktikan kesungguhan pemerintah tersebut adalah melalui perubahan paradigma (paradigm shift), yaitu memposisikan usaha kecil dan menengah di tempat yang lebih terhormat. Selama ini para pengusaha UMKM selalu diposisikan sebagai golongan pelaku usaha yang memerlukan bantuan, belas kasih. Mereka, pelaku usaha UKM, tentunya juga lebih senang ditempatkan lebih baik dari yang selama ini terjadi, dibiasakan membangun self esteem sebagai pengusaha -- soal business size bukan penentu utama, yang penting mampukah mereka membangun usaha dengan sistem dan cara-cara berbisnis yang sehat dan tahan lama.

Program-program pelatihan untuk menyapih mereka selama ini lebih banyak masih berkutat di sekitar teknis usaha sesuai dengan bidang masing-masing, dari beternak lele, pertanian organik, kerajinan, dan sederet program lainnya. Pelatihan atau lokakarya (workshop) mengembangkan mind set dan mental wiraswasta memang dilakukan juga, tapi masih sporadis dan belum merupakan program berjangka panjang yang terukur dan level akuntabilitasnya masih perlu dipertanyakan.

Apakah upaya pemerintah dengan menggandeng sejumlah pihak tersebut, termasuk BUMN, belum berhasil? Tentu sudah. Ada puluhan usahawan dengan omset di bawah Rp 20 M/tahun yang tumbuh dan sukses melalui program-program tersebut. Pertanyaannya, apakah upaya kita bersama untuk membangun UKM yang tangguh sebagai tiang ekonomi nasional hanya berhenti pada level itu? Fakta membuktikan, diantara mereka yang sudah dianggap berhasil tersebut kemudian berhenti tumbuh. Ibarat pohon, sebuah bisnis kalau tidak tumbuh lama-lama akan mati. Level sustainability mereka hanya sampai di situ.

Bagaimana kalau disepakati, sebagai langkah kongkrit Peket Ekonomi 10, DNI, dan pengembangan UKM, pemerintah dan institusi terkait (BUMN, asosiasi pengusaha seperti Kadin dan Apindo) menetapkan target yang lebih jelas. Misalnya, setiap tahun Indonesia melahirkan seratus atau seribu usahawan bisnis kecil menengah yang tangguh, melalui program mentoring, pelatihan, dan penggemblengan yang lebih massive, terencana, dan sistematis.

Tujuannya adalah agar para usahawan kecil dan menengah tersebut dapat berkembang baik, dengan tingkat profitability dan sustainability yang lebih baik lagi. Mereka menjadi tiang-tiang yang kokoh untuk perkembangan ekonomi nasional. Bahkan jika mereka tetap rendah hati untuk terus belajar dan mengembangkan diri, peluang untuk menjadi perusahaan besar sangat terbuka. Banyak perusahaan kelas dunia yang dulunya, pada awal merintis usaha, berada pada ketegori UKM -- termasuk diantaranya HP (Hewlett - Packard) dan WalMart.

Perubahan paradigma yang diperlukan saat ini adalah agar pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya menempatkan para pengusaha yang masuk kategori UKM -- di atas mikro -- sebagai "mitra pembangun ekonomi bangsa".

Program-program pengembangan untuk mendukung mereka agar menjadi lebih baik, lebih kuat, dan progresif selayaknya lebih accountable, ada R0I yang terukur, dengan KPI yang jelas pula. Sebaiknya mereka juga dibiasakan ikut investasi untuk mengembangkan diri dan bisnis mereka melalui program pelatihan, mentoring atau coaching yang berkesinambungan. Karena, setiap level dari pertumbuhan memerlukan skills, knowledge, strategi, serta wawasan bisnis yang lebih baik untuk mengatasi tantangan perubahan.

Kebanyakan perusahaan yang ambruk di tengah jalan atau berusia tidak sampai lima tahun, bukan karena mereka tidak bisa jualan, atau belum mampu membuat produk/jasa yang bagus, dan bukan pula karena faktor luar lainnya. Tapi lebih karena pemilik/pengelolanya tidak mau mengembangkan diri, berhenti belajar.

Akan halnya untuk usaha yang masih di level mikro, program bimbingan barangkali masih bisa dilaksanakan setengah sokongan, namun tetap dengan target yang jelas, agar suatu saat mereka sanggup naik ke level berikutnya.

Sudah saatnya pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang berkepentingan dengan pertumbuhan ekonomi berbasis usaha kecil dan menengah yang kokoh dan merata di pelbagai sektor usaha serta meluas di pelbagai wilayah, memikirkan strategi dan tindakan kongkrit yang lebih baik. Ada Apindo, Kadin, dan institusi-institusi penting lainnya di negeri ini yang dapat memberikan kontribusi pemikiran dan action untuk mengembangkan UMKM.

Langkah kongkrit tersebut selayaknya dilakukan dari sekarang. Fakta yang terjadi saat ini, para pelaku usaha kecil dan menengah sedang mengalami dis-orientasi karena tekanan ekonomi makro dan tantangan baru Pasar Bersama ASEAN.

Apalagi kalau berdasarkan Paket Kebijakan Ekonomi 10 dan DNI baru, UKM diberi peluang untuk bermitra dengan investor asing, saat ini juga mereka sebaiknya diberi pelatihan untuk memiliki skills, strategi, dan mind set yang lebih dapat diandalkan. Tanpa kemampuan pengelolaan bisnis berstandard internasional, rasanya mustahil mereka bermitra dengan posisi setara dengan para investor asing tersebut. Untuk membangun bisnis kelas dunia bukan tergantung pada besar kecilnya business size, tapi pada bagaimana cara pengelolaannya.


Editor: Gigin Praginanto

IndonesianReview.com

0 komentar: