PEMBANGUNAN infrastruktur sanitasi belum menjadi prioritas meski pemerintah telah menargetkan terciptanya akses sanitasi layak sebagaimana amanat UU Nomor 17/2027 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) 2005—2025.
Banyak hal yang perlu dilakukan untuk membenahi kualitas serta meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya sanitasi. Sebagai alternatif menuju akses sanitasi tersebut, pemerintah juga tengah mendengungkan layanan lumpur tinja terjadwal (LLTT).
Layanan lumpur tinja terjadwal adalah layanan penyedotan lumpur tinja dari tangki-tangki septik yang dilakukan secara berkala sesuai dengan periode penyedotan sebagaimana diwajibkan pemerintah setempat tanpa perlu adanya permintaan dari pengguna. Periode penyedotan umumnya berkisar dua tahun hingga lima tahun sekali.
Dalam rantai pengelolaan lumpur tinja, layanan tersebu menghubungkan upaya pengendalian tangki septik dengan layanan pengolahan lumpur tinja. Kinerja kolektif keduanya akan menentukan keberhasilan sistem pengelolaan lumpur tinja dalam memperbaiki kualitas lingkungan.
Meskipun terdengar sederhana, Sekretaris Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rina Agustina meng ungkapkan, layanan lumpur tinja terjadwal ini masih terkendala pengenaan biaya operasional yang dibe bankan kepada masyarakat dalam bentuk tarif yang dipungut setiap bulan.
“Kami sudah bangun IPLT , tetapi warga belum tentu mau jadi pelanggan, apalagi bayar. Akibatnya, juga banyak IPLT yang tak termanfaatkan kapasitasnya. Padahal, sebetulnya pemda bisa me manfaatkan dan alokasi khusus untuk menyubsidi itu,” katanya.
Dari 155 IPLT yang dibangun oleh pemerintah, Kementerian PUPR memperkirakan hanya sekitar 10% yang mampu memenuhi pemanfaatan kapasitas dengan optimal akibat rendahnya kesadaran warga dalam melakukan penyedotan tinja terjadwal.
Namun, Rina juga tak menyalahkan seutuhnya atas minimnya dukungan pemda karena memang belum ada undang-undang yang mengatur dan memprioritaskan persoalan sanitasi. Oleh karena itu, dia berharap dengan tengah disusunnya undang-undang mengenai air limbah dapat mendorong partisipasi aktif pemerintah daerah.
Selain itu, Program & Development Division PD PAL Jaya Mala S. Ramadhona mengungkapkan, selama ini masyarakat justru berbangga hati bila penyedotan tangki septik baru dilakukan setelah bertahun-tahun.
“Justru sebenarnya itu menjadi tanda tanya juga mengapa setelah bertahun-tahun belum ada perlunya penyedotan. Logikanya adalah kemungkinan besar tangki septik mengalami kebocoran sehingga rembesan tinja justru nantinya mencemari,” katanya.
Menurut Dona, biaya bulanan yang dipungut justru lebih ringan dibandingkan dengan melakukan layanan pemanggilan on-call yang baru dilakukan ketika tangki septik memerlukan penyedotan. “Bulanan kan hanya paling Rp15.000, bandingkan dengan yang tidak terjadwal sekali panggil bisa Rp300.000.”
Hingga saat ini baru lima kota yang telah memiliki peraturan daerah dalam menjalankan layanan lumpur tinja terjadwal, yakni Medan, Bogor, Makassar, Solo, dan Malang.
Studi sanitasi Indonesia melaporkan bahwa sanitasi buruk menjadi faktor penyumbang meningkatnya penyakit diare. Bahkan, 100.000 anak Indonesia meninggal karena diare setiap tahun, sedangkan 120 juta kejadian penyakit tersebut tercatat setiap tahunnya.
Tak hanya itu, sanitasi buruk juga berdampak pada ekonomi. Hal itu ditunjukkan dari studi Bank Dunia yang menyebutkan bahwa Indonesia kehilangan 2,4% dari keseluruhan produk domestik bruto atau sekitar US$6,3 miliar setiap tahun akibat sanitasi dan higienitas yang buruk serta kurangnya akses air bersih.
Air limbah yang tak diolah menghasilkan 6 juta ton kotoran manusia per tahun yang dibuang dan berkontribusi terhadap polusi badan air. Hal ini juga berdampak pada pembengkakan biaya pengolahan air bersih.
Menurut studi tersebut, setiap tambahan konsentrasi pencemaran biochemical oxygen demand (BOD) yakni kebutuhan oksigen biologis yang digunakan sebagai parameter kualitas air sebesar 1 miligram per liter pada sungai meningkatkan biaya produksi air minum sekitar Rp9,17 per meter kubik.
KEBUTUHAN DANA
Sementara itu, pembangunan dan pengembangan sanitasi di Tanah Air dalam mencapai akses universal pada 2019 dihadapkan pada gap yang besar antara kebutuhan investasi dan alokasi pendanaan yang direncanakan Kementerian PUPR selama 2015—2019.
Berdasarkan catatan Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR, kemampuan investasi pemerintah hanya mencapai Rp35,7 triliun dari total kebutuhan Rp274 triliun.
Alokasi pendanaan dalam Rencana Strategis Ditjen Cipta Karya untuk pembangunan fisik infrastruktur hanya mampu meningkatkan akses sanitasi maksimal 1,32%.
Persoalan investasi pengolahan air limbah, kata Direktur Utama PD PAL Jaya Subekti, memerlukan biaya yang besar karena merupakan utilitas paling bawah. Selain itu, jenis pipa, teknologi, dan instalansi yang digunakan lebih mahal dibandingkan dengan pengolahan air minum.
Dia menekankan sistem air limbah ini perlu dibenahi terlebih dulu, salah satunya melalui layanan lumpur tinja terjadwal sehingga ketika air baku bagus, pengolahan air minumnya juga menjadi lebih murah. Masalah sanitasi, terutama berkaitan dengan lumpur tinja perlu mendapat perhatian masyarakat.
Jangan sampai ketika kerugian yang berkaitan kesehatan menyerang diri Anda dan keluarga Anda, seperti terserang diare, kesadaran akan pentingnya merawat tangki septik baru muncul.
Source : Bisnis Indonesia, Rabu (25/5/2016)
0 komentar:
Posting Komentar