Kamis (17/4), Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet untuk membahas rancangan perubahan APBN 2016 yang nantinya akan diajukan kepada DPR untuk dibahas pada masa sidang 17 Mei 2016.
Dari rapat itu disetujui sejumlah perubahan di APBN 2016. Dari sisi asumsi makroekonomi, terjadi perubahan pada tiga indikator, yaitu inflasi turun dari 4,7% menjadi 4% (yoy), nilai tukar rupiah dari Rp13.900 per US$ menjadi Rp13.400 crude price (ICP) turun dari US$50 per barel menjadi US$35.
Sementara itu, indikator lain yang dipertahankan, seperti pertumbuhan ekonomi di level 5,3%, SPN 3 bulan di level 5,5%, dan lifting minyak dan gas masing-masing di level 830.000 barrel per hari (bph) dan 1,155 juta barel per hari setara minyak (bphsm).
Perubahan asumsi makroekonomi berdampak pada postur penerimaan, belanja, dan defisit. Dari sisi penerimaan (revenue) akan terpangkas, khususnya dari penerimaan perpajakan sebagai imbas dari belum pulihnya daya beli dan kinerja investasi beserta masih tertekannya harga minyak dan komoditas.
Sebagai contoh, tekanan harga minyak dan komoditas akan memangkas penerimaan pajak penghasilan (PPh) dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minyak dan gas sekitar Rp67,7 triliun.
Di samping itu, potensi penurunan pajak juga terjadi, karena pemerintah menaikkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari sebelumnya Rp36 juta per tahun menjadi Rp54 juta per tahun. Ini dilakukan untuk menstimulus daya beli, sehingga diharapkan dapat berdampak positif untuk mengungkit pertumbuhan.
Penurunan penerimaan pajak ini, memang bisa discounter melalui kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Setidaknya, dari kebijakan ini, ada potensi tambahan penerimaan sebesar Rp100 triliun—Rp150 triliun.
Sayangnya, sampai saat ini kebijakan ini masih menemui jalan terjal dan banyak menuai pro dan kontra di masyarakat. Selain itu, berdasarkan kajian IMF, kebijakan tax amnesty di berbagai negara yang dilakukan selama ini, tidak banyak yang efektif dan berhasil meningkatkan penerimaan.
Terpangkasnya penerimaan ini mendorong pemerintah untuk melakukan efisiensi belanja. Diperkirakan nilai belanja yang dipangkas mencapai Rp50,6 triliun, yaitu dari Rp2.096 triliun menjadi Rp2.045 triliun. Pemangkasan belanja ini akan diarahkan untuk belanja yang tidak produktif dan prioritas di berbagai kementerian dan lembaga.
Adapun, belanja prioritas, seperti infrastruktur akan tetap dipertahankan. Kementerian Keuangan, misalnya, telah memetakan untuk memangkas belanja operasional di berbagai kementerian dan lembaga hingga mencapai Rp25 triliun.
Bukan itu saja, untuk memaksimalkan efisiensi belanja ini, pemerintah telah mengirim sinyal untuk memangkas subsidi sektor energi, khususnya LPG 3 kg dan listrik untuk daya 900 kv. Perlu dicatat, dalam APBN 2016, total subsidi untuk sektor energi mencapai Rp102,1 triliun.
Meskipun begitu, kebijakan ini harus dilakukan secara cermat, karena pemangkasan subsidi ini dapat menekan daya beli masyarakat, sehingga menjadi kontraproduktif dengan upaya pemerintah untuk mendorong komsumsi masyarakat.
Jika daya beli tertekan, dipastikan target pertumbuhan pemerintah sebesar 5,3% bisa meleset, seperti yang terjadi pada 2015.
Sejalan dengan perubahan postur penerimaan dan belanja ini, maka defisit APBN 2016 akan melebar dari sebelumnya 2,15% terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,5% terhadap PDB.
Sebelumnya, IMF telah memproyeksikan bahwa defisit APBN akan melebar hingga 2,8% terhadap PDB, akibat terjadinya shortfall pajak yang diperkirakan sebesar Rp250 triliun.
Melebarnya defisit ini berdampak pada adanya tambahan utang baru sebesar Rp21 triliun. Padahal, tahun ini pemerintah harus mencari utang baru senilai Rp546,6 triliun (gross) melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai defisit.
Memang, pemerintah diperkirakan tidak kesulitan untuk mencari tambahan utang baru ini. Ini tercermin dari tingginya minat pemodal atas setiap lelang SBN yang dilakukan pemerintah, karena tingkat yield yang menarik. Sampai 23 Maret 2016, realisasi penerbitan SBN telah mencapai Rp251,9 triliun atau sekitar 46,09% dari target Rp546,6 triliun (gross).
Meski begitu, jika pemerintah terus menggenjot penerbitan utang, maka bisa menyebabkan sejumlah konsekuensi.
Pertama, mendorong terjadinya crowding out effect yang dampaknya dapat menghambat korporasi mengakses sumber pendanaan dari pasar obligasi. Alhasil, ini dapat menghambat ekspansi korporasi yang justru dibutuhkan untuk mendorong perekonomian.
Kedua, bisa memengaruhi desaselerasi penurunan suku bunga deposito sektor perbankan yang selama ini didorong pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar suku bunga kredit turun.
Ketiga, akan menambah beban pembayaran bunga dan pokok utang pemerintah. Tahun ini saja, pemerintah harus membayar bunga utang sebesar Rp184,9 triliun atau sekitar 14% dari belanja pemerintah.
PRODUKTIVITAS ANGGARAN
Di samping perubahan asumsi dan postur APBN 2016 tersebut, Presiden juga menekankan agar APBN ke depan bisa diarahkan untuk lebih produktif.
Apa yang dinyatakan Presiden itu merupakan realitas yang terjadi selama ini. APBN tidak produktif untuk mendorong pertumbuhan. Meskipun, porsi belanja dan utang terus meningkat setiap tahunnya, tetapi tidak memberikan efek penghujaman pada pertumbuhan ekonomi.
Indikatornya jelas, yaitu tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan (unequality) tidak membaik.
Itulah sebabnya, ke depan kementerian dan lembaga yang bersentuhan langsung dengan program Nawa Cita akan lebih diprioritaskan dan anggarannya dilipatgandakan. Sementara itu, yang tidak prioritas akan dipangkas.
Pemerintah juga harus mendorong dan menyupervisi pemerintah daerah agar dapat memaksimalkan alokasi transfer daerah dan desa yang mencapai Rp770,2 triliun. Dana yang sangat besar untuk dapat mengerakkan pertumbuhan di daerah dan desa.
Nyatanya, hal itu masih jauh dari kenyataan. Ini terjadi, karena pemerintah daerah lebih ‘doyan’ memarkir dana tersebut di bank daerah. Sampai akhir Januari 2016, nilai outstanding-nya mencapai Rp180,7 triliun.
Untuk itulah, pemerintah harus benar-benar tegas menegakkan reward dan punishment agar pemerintah daerah bisa mengelola dana yang besar itu untuk kesejahteraan masyarakat di daerahnya.
*) Desmon Silitonga, Analis pada PT Capital Asset Management
Bisnis.com
0 komentar:
Posting Komentar