Senin, 04 Juli 2016

Menanti Euforia Ekonomi Infrastruktur ala Jokowi

Sudah lebih  dari  setahun,  kita mempunyai pemerintahan baru. Tapi, rasa-rasanya, kita masih susah untuk bilang bahwa ekonomi kita sudah bergerak cepat. Semuanya terasa lamban, jauh dari jargon ketika Joko Widodo dan Jusuf Kalla berkampanye untuk menjadi presiden dan wakil presiden.   

Rasanya fair bagi kita  untuk menuntut perubahan yang hingar-bingar dan revolusioner di banyak sektor. Mengingat, Presiden Jokowi dan Wapres Kalla memiliki dukungan yang mutlak dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan.

Hanya  perubahan nyata memang belum banyak kita rasakan. Misalnya, masalah pangan masih jadi problema dilematis sekaligus simalakamis. Keinginan menurunkan harga daging, bawang merah, hingga gula dengan kebijakan impor tak mampu memangkas harga. Harga masih bertengger di atas. Hanya pemburu rente yang bisa  menikmati pembebasan impor pangan.

Upaya pemerintah menggenjot proyek infrastruktur juga tak semudah membalik tangan. Selain lahan, ketidaksiapan anggaran juga menjadi masalah. Pekan-pekan ini, kita disuguhi kenyataan bahwa alokasi anggaran untuk menggerakkan ekonomi sangat terbatas.

Pembahasan revisi anggaran 2016 menjadi bukti minimnya ruang gerak pemerintah untuk bisa mengungkit ekonomi. Target penerimaan negara Rp 1.786,2 triliun masih rentan bisa terpenuhi, mengingat tumpuan anggaran  ada di tax amnesty dan kenaikan asumsi minyak mentah Indonesia dari US$ 35 menjadi US$ 40 per barel.

Target penerimaan tax amnesty Rp 165 triliun rasanya sulit 100% terpenuhi. Data yang dimiliki pemerintah tak pernah terungkap jelas sumber dan besaran dana-dana yang  dimiliki para wajib pajak yang selama ini tersimpan di luar negeri.

Pun begitu dengan harapan kenaikan harga minyak, belum memiliki fundamental yang kokoh untuk bisa  berharap bisa menyumbang penerimaan negara sebesar Rp 52,3 triliun. Ini artinya, target belanja negara  Rp 2.082,9 triliun masih menyimpan masalah dilematis.

Dus, bila dua target tersebut  yang meleset  anggaran negara berpotensi jebol Rp 217 triliun. Padahal, dana itulah yang diharapkan menjadi sumber pembiayaan proyek infrastruktur. Makanya, banyak analis maupun ekonom minta pemerintah realistis menetapkan target, berani memangkas anggaran untuk pos-pos yang wah dan seret pencairan. 

Mengalihkan ke pos produktif lebih utama, termasuk untuk mendongkrak daya beli warga.

--------++-------

Harus lebih realistis! Itulah saran para ekonom dan analis atas postur anggaran perubahan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2016 yang pekan-pekan ini tengah dikebut pembahasannya di Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) .  

Banyak sekali pos-pos yang tak menapak kaki, meski sudah disepakati oleh parlemen dan pemerintah.  Catatan saya, setidaknya, ada lima pos yang masih meninggalkan tanda tanya besar. Mulai dari asumsi makro ekonomi,  penerimaan negara, belanja negara, subsidi, hingga penyertaan modal negara alias PMN bagi perusahaan milik pemerintah. Pos-pos yang saling bertautan satu dengan yang lain itu menunjukkan ketidakpastian yang besar.

Semisal, target pemerintah bisa mengeduk penerimaan negara tahun ini sebesar  Rp 1.786,2 triliun. Meski angka ini  turun  Rp 35,8 triliun dari APBN 2016 Rp 1.822,5 triliun,  namun jumlah itu naik sekitar Rp 51,7 triliun dari usulan awal RAPBNP 2016 yang diajukan pemerintah yang segede Rp 1.734,5 triliun.

Tantangan dapat menggaruk penerimaan segede itu tahun ini tak mudah. Berharap dari pajak masih sulit, di tengah ekonomi yang masih lesu darah. Analis dan ekonom banyak yang tak yakin target pajak tahun ini yang direvisi menjadi  Rp 1.527,1 triliun bisa tercapai. Proyeksi para ekonom maupun analis, paling banter tercapai sekitar 70%. Lantaran ekonomi global masih jauh dari kata sembuh. Alhasil, efeknya bakal mempengaruhi ekspor, dan ujungnya ruang gerak bisnis juga kian terbatas. Kalau sudah begitu, target penerimaan pajak penghasilan hingga pajak pertambahan nilai bisa meleset dari target.

Itulah sebabnya, pemerintah ngotot perburuan pendapatan dari pajak bisa ditutup dengan pengampunan pajak atau tax amnesty.  Lagi-lagi, ini tak mudah. Apalagi targetnya terbilang jumbo Rp 165 triliun. Kini, pemerintah tengah berupaya memotong-motong anggaran pengeluaran, seperti subsidi dan belanja negara.

Meski DPR menolak usulan pencabutan subsidi bagi pelanggan listrik 900 VA, pemerintah tetap bersikeras memangkas dana subsidi listrik. Sebab, alokasi subsidi untuk pos ini lumayan gede Rp 57 triliun untuk 18 juta pelanggan listrik yang disebut-sebut pemerintah tak layak menerima subsidi. Pun alokasi subsidi untuk pupuk, rencananya juga dipangkas.

Usulan tersebut harus dilakukan lantaran pemerintah butuh dana untuk menyokong  belanja negara  yang disepakati Rp 2.082 triliun. Pemerintah membutuhkan tambahan dana untuk mendongkrak ekonomi yang ditargetkan tumbuh 5,2%. Upaya pemerintah mendongkrak ekonomi dengan kembali mengusulkan suntikan modal, sejauh ini tak 100% disetujui DPR. 

Lebih celaka lagi, celengan semar yang diharapkan bisa mendongkrak ekonomi sulit terisi. Selain penerimaan pajak yang sulit, pemotongan dana subsidi yang masih ditentang DPR hingga tambahan dana dari naiknya patokan harga minyak dari hanya US$ 35 ke US$ 40 ke barel. Semunya pos-pos untuk mengisi celengan semar masih rawan meleset.

Seperti mengelola bisnis, realisasi bisa dan boleh saja meleset dari target. Itu yang wajar. Hanya kredibilitas jadi taruhan. Pemerintah bisa dicap gagal membaca dan merumuskan gerak ekonomi kita ke depan. Kalau sudah begitu, kepercayaan menjadi taruhan. Untuk itu, pemerintah perlu dan harus berani membuat terobosan,  memangkas dana yang selama lebih sering ngendon di bank, termasuk  mengkaji ulang alokasi anggaran yang dipatok prosentase, sesuai undang-undang tentang anggaran.

Oleh : Titis Nurdiana
Judul Asli : √ Dilematis
                     √ Butuh Terobosan
Sumber : Tajuk --> kontan.co.id
Gambar : google.com

0 komentar: