Sabtu, 02 Juli 2016

Tax Amnesty, Pengampunan Pajak untuk Siapa?

PEMBICARAAN mengenai tax amnesty akhir-akhir ini memang menimbulkan pertanyaan, terlebih setelah di sahkan menjadi undang-undang. Umumnya pertanyaan yang muncul ialah, apakah pemerintah akan berhasil menerapkan kebijakan itu yang banyak diragukan oleh pemilik uang ini dan sering kali disebut sebagai “jebakan Batman”?

Kebijakan tax amnesty ini memang pernah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada 1984. Saat itu pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut hanya dengan keputusan presiden (keppres). Kebijakan tax amnesty model lama itu dikeluarkan karena pemerintah ingin melakukan restrukturisasi perpajakan dikarenakan penghasilan ekspor nonmigas sudah melemah sehingga mengandalkan pendapatan negara dari pajak. Kebijakan tax amnesty pada 1984 tidak memberikan dampak signifikan karena tidak ada keterbukaan informasi secara otomatis. Itu artinya urgensi tax amnesty kali ini bisa jadi jauh lebih signifikan dibandingkan dengan tax amnesty atau kebijakan sunset policy pada 2008 saat Indonesia terkena krisis.

Menteri Keuangan dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi media di rumah dinasnya, beberapa waktu lalu, menegaskan kembali bahwa tax amnesty ini paling tidak keringanan tarif dan penghapusan sanksi dari pelanggaran pajak. Itu terkait juga dengan soal repatriasi dan pencatatan. Seperti halnya orang yang mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) tapi masih belum benar.

Nah, untuk menarik dana-dana, pemerintah menawarkan diskon lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang hanya mencatatkan hartanya. Disebut-sebut, dalam draf RUU pengampunan pajak, tarif penalti repatriasi ditetapkan 1,2% dan 3%. Sementara itu, bagi mereka yang mencatatkan hartanya terkena tarif 2,4% dan 6%.

Hitung-hitungan penerimaan dari UU pengampunan pajak ini masih simpang siur. Banyak prediksi yang terlalu tinggi. Ada yang menyebut dana di luar negeri dari orang Indonesia mencapai Rp10.000 triliun dan bahkan ada yang mengatakan Rp11.000 triliun. Tidak ada catatan resmi mengenai jumlah dana-dana yang ada di luar. Nama-nama yang tertera dalam dokumen Panama Papers juga tidak menyebut angka.

Namun, banyak yang hanya memprediksikan sekitar Rp5.000 triliun sampai dengan Rp6.000 triliun karena dana-dana asing yang masuk ke Indonesia sejatinya sebagian besar ya milik orang Indonesia. Dana-dana yang masuk ke pasar modal lewat lembaga-lembaga investasi asing dipercaya sebagian besar milik orang Indonesia.

Jujur juga harus diakui. Kebijakan tax amnesty ini juga dapat menghasilkan tambahan penerimaan pajak buat kas APBN 2016. Hitungan optimistis bisa ada tambahan Rp100 triliun sampai dengan Rp200 triliun jika data Rp10.000 triliun itu benar. Akan tetapi, banyak yang percaya angka tambahan penerimaan pajak dari kebijakan tax amnesty ini tidak lebih dari Rp65 triliun.

Banyak negara yang gagal menerapkan kebijakan tax amnesty ini, seperti Rusia dan Prancis. Yang relatif berhasil ialah India, Italia, Irlandia, dan Afrika Selatan. Rusia melakukan keterbukaan informasi dan Prancis melakukan repatriasi. Italia melakukan hal yang sama dengan Prancis, tapi Italia lebih berhasil.

Sementara itu, India menawarkan obligasi khusus bebas pajak. Jadi, apakah Indonesia akan berhasil? Jawabannya tergantung pada kredibilitas pemerintah dan kepercayaan pemilik dana kepada pemerintah apakah akan seperti pikiran pemilik uang yang sebagian besar apakah tidak masuk “jebakan Batman”. Pemerintah harus menjawab pertanyaan itu.

Kendati demikian, kebijakan pengampunan pajak ini punya sisi lain yang tak kecil dampaknya bagi perbankan dan nasabah bank. Tax amnesty ini bukan hanya terkait dengan kepentingan pemerintah, melainkan juga berdampak pada pembayar pajak. Apalagi, nanti, pada 2018, sudah ada keterbukaan informasi. Intinya, nanti tidak ada tempat bagi orang Indonesia untuk menyembunyikan hartanya, mau tidak mau harus melaporkan. Saat ini memang belum ada karena masih ada rahasia bank yang dilindungi UU perbankan.

Menurut catatan Infobank Institute, bagi Indonesia sebagai salah satu negara yang menyetujui perjanjian Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEOI) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Turki, ada aturan main yang harus dipenuhi. Salah satunya ialah kesanggupan untuk melakukan pertukaran data perbankan guna kepentingan perpajakan antarnegara pada 2018.

Dampak bagi perbankan, tax amnesty ini akan mengubah perilaku nasabah bank yang selama ini masih tidak patuh atau menyembunyikan data keuangannya, baik untuk kepentingan perpajakan maupun kepentingan lainnya, seperti pencucian uang. Keterbukaan informasi nasabah untuk kepentingan perpajakan akan berdampak besar bagi bank-bank, yang selama ini nasabah dana dilindungi dengan dalih rahasia bank.

Tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam menarik dana-dana repatriasi dari kebijakan tax amnesty ini. Itu masih menyangkut tentang trust antara pemilik dana dan pemerintah. Pertanyaannya, apakah ini bukan hanya “jebakan Batman”, artinya dipermudah di awal, tapi akhirnya akan dikunci sehingga tidak bisa ke mana-mana dan bahkan akan menjadi sumber pemerasan baru bagi penegak hukum. Masalah trust terhadap pemerintah dan lembaga hukum hari-hari ini tak begitu sepenuhnya bagus akibat politik yang terus menyandera.

UU pengampunan pajak ini akan berhasil, selain trust dan ketersediaan produk investasi, jika diikuti dengan perubahan UU Perbankan Tahun 1992. Jika demikian halnya, bank di Indonesia akan lebih berat menjaring dana pihak ketiga—apakah ini yang namanya “jebakan Batman”—karena nanti sudah tak ada lagi yang namanya rahasia bank.

Namun, tax amnesty lebih baik diterapkan. Sebab, kebijakan itu akan lebih mendatangkan kesempatan dalam melakukan repatriasi dan penerimaan pajak buat kas negara.

Di tengah kondisi pemerintahan Indonesia menghadapi sejumlah masalah ekonomi yang tidak ringan. Tingginya ketergantungan pada pasar ekspor, investasi asing dan utang luar negeri menyebabkan Indonesia sangat rentan pada perubahan situasi ekternal. Jatuhnya harga komoditas global yang selama ini menjadi andalan Indonesia telah memukul sektor keuangan nasional dan sektor fiskal.

Adalah UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang baru-baru ini disahkan DPR dan siap diberlakukan setelah Hari Raya Idul Fitri 1437 H, merupakan kado lebaran sebagai jalan terobosan untuk mengatasi masalah ekonomi tersebut, yang setidaknya diharapkan dana masuk ke negeri ini mencapai Rp 165 triliun.

Pemerintah memang mengincar dana yang besar baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Diperkirakan sekitar Rp. 4.000 triliun dana WNI yang disimpan di luar negeri. Jika dana ini kembali ke Indonesia, maka diharapkan akan membantu kesulitan likuiditas perbankan dan defisit fiskal yang dihadapi pemerintah saat ini.

Kondisi seperti apa yang dihadapi pemerintah sehingga tidak peduli lagi dengan uang halal atau haram? dan apakah UU tax amnesty nantinya akan menjawab persoalan fiskal yang dihadapi pemerintah dan masalah keuangan yang dihadapi perekonomian Indonesia? Untuk itu perlu kita mengenali terlebih dahulu problema yang dihadapi pemerintah saat ini.

Berdasarkan rancangan UU Tax Amnesty yang diajukan pemerintah ke DPR, definisi tax amnesty adalah Pengampunan Pajak berupa penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan, sebagaimana ditetapkan dalam UU tersebut.

Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menyatakan bahwa tax amnesty tidak mempersoalkan sumber dana yang masuk ke penerimaan pajak apakah haram (dari tindak kejahatan korupsi, pencucian uang) ataupun halal, semuanya wajib bayar pajak. Menurut dia, tax amnesty tidak menghapus pidana umum, tapi hanya sanksi pajak. Dengan demikian tidak akan menghalangi upaya mereka (KPK, Polri, PPATK), tapi tidak boleh menggunakan data dari tax amnesty.

Dengan demikian maka ruang lingkup tax amnesty sangat luas, tidak hanya menyangkut dana-dana yang tengah berstatus sengketa perpajakan, namun juga dana dana yang bersumber dari back office seperti perjudian, cuci uang, korupsi, pelacuran, perampokan, dan lain-lain, yang selama ini memang tidak dikenai pajak. Bahkan dana tersebut terindikasi dilarikan ke luar negeri dan juga disimpan di berbagai lembaga keuangan dalam negeri.

Di sisi lain, salah satu pilar ekonomi yang roboh adalah sumber pembiayaan negara dan pemerintahan. Penyebabnya adalah penerimaan negara dari pajak dan non pajak yang jatuh semakin dalam dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Padahal pemerintahan ini berambisi menambah penerimaan negara berkali-kali lipat lebih besar.

Lihat saja realisasi penerimaan pajak tahun ini benar benar mengkhawatirkan. Bayangkan penerimaan pajak April 2016 hanya Rp. 98 triliun‎, menurun Rp. 7 trilun dari periode yang sama tahun lalu. Kondisi ini akan terus berlanjut pada periode mendatang dan target pajak sedikitnya akan merosot Rp 300 triliun. Sementara target penerimaan pajak sendiri Rp. 1.822 triliun, meningkat dibandingkan target tahun sebelumnya. Padahal realisasi tahun sebelumnya jauh dari target yang direncanakan.

Penerimaan negara bukan pajak akan berkurang sedikitnya Rp 100 ‎triliun dari target Rp 273 triliun, mengingat harga minyak dan harga komoditas yang masih tetap rendah. Sementara tumpuan penerimaan negara selama 10 tahun terakhir adalah komoditas. Secara keseluruhan pemerintah akan kehilangan Rp 400 ‎ triliun dari yang direncanakan. Jika pemerintah tidak mendapatkan utang sebesar 2,5% PDB, maka dipastikan pemerintah akan kekurangan uang sedikitnya Rp 650 triliun.

Tidak hanya itu. Pemerintah “lupa” memasukkan unsur pajak bumi dan bangunan (PBB) UU Tax Amnesty. Pasalnya, sekarang banyak penunggak PBB yang mencapai nilai puluhan juta rupiah karena ketidakmampuan ekonomi di banyak kota di Indonesia. Beruntung sekali warga Jakarta memperoleh pembebasan PBB untuk pemilik rumah pribadi di bawah harga jual Rp 1 miliar. Namun kebijakan ini harusnya menjadi perhatian pusat yang dapat dimasukkan ke dalam salah satu pasal UU Tax Amnesty, agar berlaku secara nasional.

Selain APBN yang gagal mecapai target, sektor keuangan secara keseluruhan pada era pemerintahan Jokowi mengahadapi masalah yang sangat serius. Mengapa? Ini dikarenakan utang pemerintah dan swasta yang semakin besar baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Menurut catatan BI, utang luar negeri pemerintah hingga kwartal I-2015 sebesar US$ 151,312 miliar. Sedangkan utang luar negeri swasta senilai US$ 164,673 miliar. Secara keseluruhan utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai US$ 315,985 miliar atau setara Rp 4.202 triliun!

Nah, pertanyaan berikutnya adalah, dana yang sekarang tersimpan di luar jika harus masuk ke Indonesia ke dalam sektor mana? surat utang negara? deposito pada perbankan? investasi langsung, atau bursa saham? ini penting mengingat apakah sektor sektor yang dimaksud siap untuk kemasukan virus uang uang semacam itu yang nantinya akan memiliki konsekuensi yang luas terhadap moraliti lembaga keuangan dan pemerintah.

Demikian pula dengan uang haram yang ada di dalam dalam bentuk kegiatan usaha ilegal (tidak kena pajak) di dalam negeri, apakah usaha usaha tersebut akan dilegalkan? ataukah apakah uang yang diperoleh dari kegiatan ilegal tersebut akan dimasukkan ke dalam sektor legal? jika ini dilakukan maka siap siap negara disandera oleh para pemain back office, dan hal ini akan memiliki konsekuensi lebih lanjut terhadap kehidupan ekonomi dan politik bangsa Indonesia di masa depan.

Infobanknews.com
Neraca.co. id

0 komentar: