Selasa, 18 Oktober 2016

Wah, utang RI ke China membengkak 1.800%

Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, utang luar negeri Indonesia kepada China telah membengkak 1.838%. Angka pertumbuhan tersebut menjadi tertinggi di antara lima negara kreditor utang terbesar Indonesia.

Berdasarkan data yang baru saja dirilis Bank Indonesia (BI), per Agustus tahun ini nilai utang Indonesia ke China mencapai US$ 14,24 miliar. Sedangkan sepuluh tahun yang lalu hanya US$ 735 juta.

Utang Indonesia ke negara lain seperti Singapura saja hanya mengalami pertumbuhan 285%. Begitu juga ke Jepang dengan 1,57%. Dibandingkan pesaing terdekatnya yakni Singapura, pertumbuhan utang ke China sembilan kali lipat lebih besar.

Jika dihitung selama lima tahun, maka pertumbuhan utang ke China masih unggul dengan 327%. Disusul Singapura dengan 62,25%. Utang ke Jepang, Amerika Serikat (AS) dan Belanda bahkan turun masing-masing 25,97%, 57,73% dan 34,03%.

Saat ini China masih bertengger di posisi ketiga di antara lima kreditor utang luar negeri Indonesia terbesar. Singapura dan Jepang berada di posisi pertama dan kedua dengan nilai utang US$ 53,59 miliar dan US$ 33,47 miliar.

Utang proyek dari luar negeri banyak yang nganggur

Realisasi pinjaman proyek luar negeri pemerintah masih minim. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, dari rencana penarikan pinjaman proyek sebesar US$ 38,9 miliar pada periode 2015-2019, saat ini baru terlaksana US$ 3,34 miliar. 

Penarikan pinjaman proyek luar negeri dipakai untuk membiayai pembangunan Jalan Tol Cileunyi-Sumedang- Dawuan, pembangunan jalan tol Balikpapan-Samarinda,  pembangunan jalan tol Manado-Bitung, dan jalan tol Solo- Kertosono.

Total dana untuk membiayai pembangunan empat ruas jalan tol itu sebesar  US$ 775 juta.

Selain itu, utang tersebut untuk membiayai program pembangunan air minum dengan nilai sebesar US$ 350 juta, dan proyek pengembangan perkeretaapian senilai US$ 1,07 miliar.

Sementara itu untuk program pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan senilai US$ 635 juta.

Untuk tahun ini sampai September 2016, data Kementerian Keuangan (Kemkeu) menunjukkan, dari jumlah pinjaman proyek sebesar US$ 2,75 miliar atau setara dengan Rp 37, 18 triliun, realisasinya baru sebesar 41% atau sebesar US$ 1,14 miliar atau sebesar Rp 15,25 triliun. 

Deputi Pembiayaan Pembangunan Bappenas Kennedy Simanjuntak mengatakan, salah satu penyebab rendahnya  realisasi penyerapan utang proyek luar negeri adalah persiapan proyek yang masih terkendala. "Sebenarnya ingin lebih dari itu, tetapi kapasitasnya tidak ada," katanya kepada KONTAN, belum lama ini.

Menurut Kennedy, pemerintah sadar tidak punya kemampuan besar untuk menyerap seluruh pinjaman yang telah direncanakan. Apalagi sampai saat ini, persiapan proyek yang ada masih belum mendukung percepatan penyerapan pinjaman.

Dengan rencana pinjaman sebesar US$ 38,9 miliar pada periode 2015-2019, target penyerapan hanya US$ 5 miliar per tahun.

Walau penyerapan tidak maksimal, namun dalam revisi Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah 2015-2019.

Dalam buku biru atau blue book yang berisi daftar pinjaman pemerintah tersebut, pemerintah menambah utang pembiayaan proyek dari semula US$ 39,8 miliar menjadi US$ 42,27 miliar.

Penambahan utang dilakukan untuk membiayai beberapa proyek infrastruktur. Salah satunya adalah pembangunan infrastruktur terpadu kawasan wisata strategis.

Rencananya, ada tiga proyek kawasan wisata strategis yang akan didanai dengan utang proyek luar negeri, yaitu kawasan wisata Mandalika, Danau Toba, dan Candi Borobudur. "Total rencana pinjamannya, US$ 300 juta," katanya.

Proyek lain yang juga akan mendapatkan pinjaman luar negeri adalah proyek rumah murah yang dijalankan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Rencananya proyek mendapat pinjaman senilai US$ 450 juta. Proyek lain yang juga akan didanai dengan pinjaman adalah proyek Pelabuhan Patimban senilai  US$ 1,7 juta.

Kontan.co.id

0 komentar: