Senin, 06 Juli 2015

Tiada Proyek Tanpa China

***
Mirip dengan iklan Teh Botol: “Apapun proyeknya, Cina pemodalnya.” Inilah yang terjadi di era pembangunan saat ini.
***


Cina paham betul bahwa Indonesia sangat membutuhkan dana untuk melanjutkan pembangunan. Pemerintah sendiri juga sudah menunjukkan gairah besar untuk memburu utang di pasar komersial untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Soal berapa nanti pungutan yang akan dikenakan pada masyarakat untuk membayarnya utang berbunga tinggi itu, sampai sekarang pemerintah masih bungkam.

Lihat saja,  Mei lalu pemerintah menerbitkan surat utang sukuk bernilai US$2 miliar, atau terbesar di dunia. Tak tanggung-tanggung pula, suku bunga yang ditawarkan lebih 4% di atas London Inter Bank Offered Rate (LIBOR), yang menjadi patokan suku bunga utang komersial dunia. Dengan kata lain, suku bunga sukuk bertenor 10 tahun ini juga tergolong tertinggi di dunia.

Tak kalah dahsyatnya adalah tawaran kredit komersial bernilai Rp 650 triliun oleh dua bank BUMN dari Cina - Development Bank of China dan International and Commercial  Bank of China (ICBC) - kepada sejumlah BUMN Indonesia. Kredit ini untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur termasuk pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, Light Rail Transit, dan tol lintas Sumatra. Bunga yang ditawarkan adalah sekitar 3%.

Proyek-proyek infrastruktur biasa menggunakan kredit lunak atau semi lunak untuk mengurangi beban masyarakat. Kredit semacam ini bersifat Pemerintah ke Pemerintah, atau dari lembaga-lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia, IDB, ADB, dan IMF. Hanya saja, agar ada jaminan uangnya bakal kembali, lembaga-lembaga kreditor tersebut selalu mengajukan syarat sangat berat, dan kerap menimbulkan kontroversi.

Persyaratan  standar yang mereka tawarkan adalah kewajiban untuk melakukan pemberantasan korupsi secara lebih serius, membangun sistem keuangan yang transparan, penegakan hukum dan HAM yang tak hanya tajam ke bawah, dan penghapusan anggaran belanja yang dianggap tidak perlu.

Bila  gagal memenuhi kewajiban tersebut, bisa bernasib seperti Yunanai saat ini. Di tengah kemerosotan ekonomi yang sangat tajam, para kreditor justru menghentikan aliran dana ke negara ‘para filsuf’ itu. Akibatnya gaji para PNS, polisi, tentara, dan pensiunan kini tak jelas nasibnya. Demikian pula dengan berbagai kebutuhan pokok Yunani yang masih harus diimpor seperti BBM dan bahan pangan.
 
Bila pemerintah menerima tawaran kredit komersial dari Cina, persyaratan memang tak seberat bila berutang dari Bank Dunia dan sebagainya. Apalagi, selain berharap untung besar dari suku bunga, pihak Cina juga melihat bahwa proyek infrastruktur itu sendiri bisa mendatangkan keuntungan secara keuangan dan ketenagakerjaan. Maklum , para kontraktor Cina dikenal sangat gemar memakai buruhnya sendiri untuk menggarap proyek dimana saja berada.

Ekspor buruh kini memang sedang menjadi hobi Cina. Ini karena perekonomiannya sedang lesu sehingga angka pengangguran meningkat secara konsisten. Memburu proyek di luar negeri tak kalah penting bagi Cina, karena permintaan dalam negeri merosot tajam sejak tahun lalu.

Terlepas dari bagaimana realisasi dari tawaran utang bernilai ratusan triliun rupiah itu, pemerintah Indonesia tentu wajib belajar dari proyek-proyek infrastruktur yang telah digarap Cina. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt sering terlunta-lunta akibat rendahnya kualitas pembangkit buatan Cina.

Selain itu, Gubernur DKI Ahok juga telah berulang kali marah karena ternyata bus-bus buatan Cina yang dipakai oleh Trans Jakarta terlalu sering rusak. Inilah mengapa dia memutuskan untuk melibatkan para pembuat bus dari Eropa dalam tender pengadaan bus Trans Jakarta.

Sejauh ini Jokowi tampaknya kurang peduli pada masalah di  atas, dan tetap mengandalkan Cina seperti dia pertontonkan selama Konferensi Asia Afrika beberapa waktu lalu. Tak jelas apakah ini karena Cina sanggup menawarkan harga lebih murah, atau kebaikan hati para konglomerat dari Negeri Panda ini dalam menebar angpao.



Indonesianreview.com

0 komentar: