Rabu, 29 Juni 2016

UU Tax Amnesty Disahkan

DPR Setujui UU Pengampunan Pajak dan APBNP 2016

Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa, menyepakati RUU Pengampunan Pajak dan APBNP 2016 untuk disetujui menjadi UU, meskipun sejumlah fraksi memberikan catatan atau nota keberatan.

Rapat ini dimulai oleh pembacaan hasil rapat pembahasan APBNP 2016 oleh Ketua Badan Anggaran Kahar Muzakir yang diantaranya menyetujui Pendapatan Negara dan Hibah sebesar Rp1.786,2 triliun dan belanja negara sebesar Rp2.082,9 triliun.

Namun, setelah Kahar membacakan hasil rapat, anggota Komisi XI Maruarar Sirait melakukan interupsi dan meminta rapat paripurna membahas persetujuan RUU Pengampunan Pajak terlebih dahulu, dari pada persetujuan RUU APBNP 2016.

Maruarar beralasan tidak mungkin menyetujui postur APBNP, tanpa menyepakati pengampunan pajak, padahal pemerintah menyertakan tambahan penerimaan pajak Rp165 triliun dari kebijakan repatriasi modal yang berlaku hingga Maret 2017.

"Dari sistematika dan logika hukum tidak mungkin APBNP dulu baru pengampunan pajak, bagaimana kalau APBN disetujui tapi pengampunan pajak tidak? Padahal proyeksi penerimaan 2016 menyertakan pengampunan pajak. Kita ingin kedua RUU ini disetujui dalam prosedur dan tata cara yang benar," kata politisi PDI-P itu seperti dikutip Antara, Selasa (28/6/2016).

Pimpinan rapat Ade Komarudin mengakomodasi permintaan Maruarar dan memberikan kesempatan kepada Ketua Komisi XI DPR RI Ahmadi Noor Supit untuk membacakan hasil pembahasan RUU Pengampunan Pajak dengan pemerintah.

Saat dilakukan proses pengambilan keputusan, fraksi PKS menegaskan masih menolak enam pasal yang tercantum dalam RUU Pengampunan Pajak, namun menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada para peserta Rapat Paripurna.

"PKS masih keberatan dan menolak enam pasal dalam RUU Pengampunan Pajak, selama keberatan ini masuk dalam catatan, kami bisa menerima keputusan paripurna," kata Wakil Ketua fraksi PKS Ecky Awal Mucharama.

Selain itu, fraksi Partai Demokrat dan PDI-P memberikan Minderheit Nota (catatan keberatan) karena belum menyetujui sebagian pasal yang diusulkan dalam RUU Pengampunan Pajak, terutama asal muasal dana dan besaran tarif tebusan.

Meskipun ada sejumlah interupsi, Ade Komarudin kemudian mengambil kewenangan rapat dan meminta persetujuan para peserta untuk secara bersamaan menyepakati RUU menjadi UU Pengampunan Pajak dan APBNP 2016.

Rapat paripurna secara mayoritas dari sepuluh fraksi yang hadir sepakat menyetujui RUU Pengampunan Pajak dan APBNP 2016 untuk disahkan menjadi UU oleh Presiden, meskipun satu fraksi memberikan penolakan, yaitu PKS.

Inti dari UU Pengampunan Pajak yaitu memberikan pengampunan pajak kepada Wajib Pajak (WP) melalui pengungkapan harta yang dimiliki melalui surat pernyataan, kecuali bagi WP yang sedang diselidiki, dalam proses peradilan atau menjalani hukum pidana.

Pengampunan pajak ini diberikan terhitung sejak UU ini berlaku hingga 31 Maret 2017 atau kurang lebih selama sembilan bulan dengan tarif uang tebusan dari repatriasi modal maupun deklarasi aset para WNI di luar negeri yang beragam.

Sedangkan UU APBNP 2016 menyertakan sejumlah postur anggaran baru yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian terkini, termasuk kemungkinan penambahan penerimaan dari pengampunan pajak dan pemangkasan anggaran untuk menjaga defisit.

---------------------

Dewan Perwakilan Rakyat secara resmi mengesahkan Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak atau yang lebih dikenal dengan UU Tax Amnesty. Pengesahan ini dilakukan dalam Sidang Paripurna DPR pada Selasa (28/6).

Presiden Joko Widodo mengatakan UU Tax Amnesty akan menjadi payung hukum dan memberi rasa aman bagi wajib pajak yang memiliki aset di luar negeri. Harapannya dengan adanya UU, ini uang orang-orang Indonesia yang sudah berpuluh-puluh tahun berada di luar negeri, bisa kembali ke dalam negeri.

Pemerintah menyatakan segera menyiapkan instrumen investasi yang bisa menampung arus dana yang akan masuk ini. Jokowi telah memerintahkan kepada para menteri dan lembaga seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar secepatnya menyiapkan instrumennya.

“Dalam sehari dua hari ini, kami persiapkan instrumen-instrumen investasi yang bisa dipakai untuk menampung uang yang akan masuk ke negara kita," kata Jokowi dalam keterangannya usai berbuka puasa bersama anak yatim dan disabilitas di Istana Bogor, Selasa (28/6).

Instrumen ini, kata Jokowi, bisa berupa Surat Berharga Negara (SBN), reksadana, Surat Utang Negara (SUN), dan investasi-investasi langsung. Setidaknya instrument tersebut bisa menahan dana yang masuk, agar bisa dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi nasional. Jokowi ingin arus uang yang akan masuk tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan proyek-proyek infrastruktur.

"Dan yang paling penting kami berharap bahwa dari 'capital inflow' ini bisa kita pakai untuk menyelesaikan infrastruktur-infrastruktur yang belum selesai. Sehingga nanti juga akan diterbitkan infrastructure bond," ujarnya.

Ketika ditanya mengenai target penerimaan negara dan arus dana yang masuk dari hasil kebijakan pengampunan pajak, Jokowi belum bisa menjawabnya secara pasti. Menurutnya tidak mudah untuk menghitungnya, karena menyangkut psikologis. Sebelumnya pemerintah menargetkan bisa mendapat Rp 165 triliun dari hasil tax amnesty.

UU Pengampunan Pajak yang baru disahkan ini berlaku hingga akhir Maret 2017. Penerapannya dibagi dalam tiga periode setiap triwulan. Periode pertama dimulai Juli-September 2016, periode kedua Oktober-Desember 2016 dan periode ketiga Januari-Maret 2017.

Melalui UU ini para wajib pajak yang belum melaporkan pajaknya akan mendapat tarif tebusan yang lebih rendah dari tarif pajak. Semakin cepat wajib pajak melaporkannya, tarif tebusan yang dikenakan pun semakin rendah.

Tarif tebusan ini dibagi menjadi tiga kategori. Yakni usaha kecil menengah (UKM), wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri, serta wajib pajak yang hanya mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa repatriasi.

Untuk wajib pajak usaha kecil menengah yang mengungkapkan harta sampai Rp 10 miliar akan dikenakan tarif tebusan sebesar 0,5 persen. Sedangkan untuk yang lebih dari Rp 10 miliar, tarif tebusannya 2 persen.

Wajib pajak yang bersedia menarik uangnya di luar negeri ke Tanah Air (repatriasi) akan mendapat tarif tebusan sebesar 2 persen untuk periode pertama. Kemudian 3 persen dan 5 persen untuk periode kedua dan ketiga.

Sementara wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa repatriasi akan dikenai tarif dua kali lipat lebih besar. Yakni 4 persen untuk periode pertama, 6 persen untuk periode kedua dan 10 persen untuk periode ketiga.

Bisnis.com
Katadata

0 komentar: